Bad Guys: Kala Polisi Meminta bantuan Narapidana untuk Mengungkap Sebuah Kasus

Serial Vidio Original Bad Guys. Sumber: Vidio. 

Semua orang tahu jika tugas polisi adalah mengayomi dan juga melindungi masyarakat sekitar dari bahaya dan teror yang mengancam. Begitu juga tugas untuk mengungkap berbagai macam kasus kejahatan yang terjadi. Biasanya polisi mengungkap sebuah kejahatan dengan bantuan intel jika kasus kejathatan tersebut rumit untuk diungkap dengan tangan kosong. Namun, bagaimana jika seorang polisi meminta bantuan narapidana untuk membantunya menumpas sebuah kejahatan? Pastinya sangat beresiko besar dan mengundang kontroversi. Itulah yang terjadi di sebuah serial berjudul Bad Guys. Serial yang merupakan remake dari versi Korea dengan judul yang sama di tahun 2014 lalu ini memperlihatkan bagaiamana seorang polisi yang dengan modal nekat meminta bantuan tiga orang narapidana untuk mengungkap sebuah kasus pembunuhan. Dibintangi oleh Oka Antara, Maudy Effrosina, Dwi Sasono, Randy Pangalila, dan Omara Esteghlal, Bad Guys menyajikan aksi yang brutal, seru, dan penuh intrik.

Seru, brutal, dan penuh drama

Para cast Bad Guys Indonesia. Sumber: cinemags. 

Seorang polisi bernama Jaka (Oka Antara) yang berhasil menangkap seorang bos narkoba harus menghadapi kenyataan pahit. Disaat sedang berjuang untuk membenahi sistem keadilan, putrinya yang bernama Siska (Nayla D. Purnama) tewas secara mengenaskan di rumahnya. Namun, orang yang membunuh anaknya masih belum diketahui alias misterius. Merasa sangat terpukul dan sedih atas kematian putrinya, Jaka mengambil keputusan yang sangat berbahaya dan beresiko yang juga menyangkut akan reputasinya sebagai polisi: Meminta bantuan 3 orang narapidana! 3 orang narapidana tersebut adalah Elias (Omara Esteghlal), Haidar (Randy Pangalila), dan Anton (Dwi Sasono). Dan juga dibantu oleh seorang polisi wanita bernama Sekar (Maudy Effrosina). Jaka merekrut ketiga narapidana tersebut bukan tanpa alasan, karena ketiganya memiliki keahlian masing-masing. Elias ahli dalam meretas a.k.a hacker, Haidar ahli dalam menyamar, dan Anton ahi dalam bertarung. Semula memang selalu ada konflik dan cekcok diantara mereka, namun perlahan mereka mulai kompak dan fokus didalam bekerjasama untuk membantu Jaka. Sayangnya, banyak korban berjatuhan selama mereka berjuang mengungkap kasus pembunuhan Siska. Ketika hampir putus asa di dalam menemukan dalang pembunuhan tersebut, terjadilah sebuah kejutan yang tak terduga. Dalang dari pembunuhan Siska adalah seorang hakim yang juga adalah rekan Jaka sendiri, Yeremia (Ibnu Jamil)! Sebelumnya, sempat banyak yang mengira bahwa dalang pembunuhnya adalah Ito (Afrian Arisandy). Namun, Ito rupanya adalah orang suruhan Yeremia. Ito membunuh seorang jaksa dan seorang hakim dan juga gubernur Ahmad Aziz. Terjadilah pertarungan hebat antara Jaka dan 3 rekan narapidana yang juga dibantu oleh sekelompok kartel melawan pasukan Ito dan Yeremia. Seluruh pasukan Ito dapat dikalahkan satu persatu. Sementara itu Ito berhadapan 2 lawan satu dengan Chandra (Marcelino Lefrandt) dan Anton. Sayangnya, Chandra tewas. Perkelahian berlangsung sengit antara Ito dan Anton, yang akhirnya dimenangkan oleh Anton. Disisi lain, Jaka berhadapan dan bertarung dengan Yeremia. Ketika Jaka berada di satu titik untuk membunuh Yeremia, namun Jaka sadar bahwa perbuatannya akan memperberat hidupnya. Yeremia akhirnya dipenjara. Begitupula dengan ketiga narapidana yang direkrut oleh Jaka, juga harus kembali ke penjara. Jaka akhirnya bisa bernapas lega, begitu pula dengan Sekar. Meski Jaka akhirnya mendapatkan surat peringatan dari atasannya akibat dari perbuatam nekadnya.

Dari awal hingga akhir, Bad Guys menyuguhkan konflik yang begitu seru dan rumit hingga membuat penonton berpikir keras siapa dalang sesungguhnya. Pertarungan dan perkelahian yang disajikan dalam serial ini juga sangat seru dan brutal. Banyak adegan gore yang berdarah-darah yang pastinya membuat penonton merasa ngilu. Selain itu, Bad Guys tidak hanya menceritakan kisah kehidupan Jaka saja, melinkan juga background dari ketiga narapidana yang memiliki kisahnya masing-masing. Elias yang diceritakan ditangkap karena mencuri memiliki kisah pilu dengan mantannya, Haidar yang ‘dibuang’ oleh ibunya saat masih kecil akhirnya bertemu di warung jamu, Anton yang merupakan pengedar narkoba yang berurusan dengan Chandra dan memiliki kisah cinta dengan Rahayu. Semua background dari ketiga narapidana tersebut diceritakan secara hampir sempurna dan dengan porsi yang pas. Alur ceritanya juga sangat bagus, tertata rapi dan berjalan secara jelas. Secara keseluruhan, Bad Guys versi Indonesia yang berjumlah 10 episode ini cukup bagus dan sangat direkomendasikan untuk ditonton bagi yang menyukai genre thriller dan action. Jika dilihat dari adegan akhir di episode terakhir, kemungkinan Bad Guys akan berlanjut ke season 2. Semoga saja ada season 2 dan semoga ceritanya juga makin menarik. 

Bahkan Elon Musk pun Terinspirasi Tony Stark

Poster film Ironman. (Sumber: Wikipedia/https://id.wikipedia.org/wiki/Iron_Man_(film))

Film Iron Man (2008) bukan hanya membuka era baru dalam jagat perfilman superhero, tetapi juga menjadi titik awal berdirinya Marvel Cinematic Universe (MCU), sebuah semesta sinematik yang kini mendominasi box office global. Disutradarai oleh Jon Favreau dan dibintangi oleh Robert Downey Jr. sebagai Tony Stark, film ini awalnya dianggap sebagai proyek berisiko tinggi. Marvel Studios saat itu masih independen dan mempertaruhkan segalanya, termasuk hak properti karakter-karakter mereka yang tersisa, demi membiayai produksi film ini. Jika film ini gagal, Marvel bisa kehilangan hampir semua hak karakter utama.

Salah satu keputusan paling berani adalah memilih Downey Jr. untuk memerankan Tony Stark. Saat itu, karier Downey sempat meredup akibat masalah pribadi dan hukum. Namun Favreau bersikeras bahwa hanya Downey yang mampu menghidupkan karakter eksentrik, jenius, dan karismatik seperti Stark. Keputusan ini terbukti jitu, Downey tidak hanya menyelamatkan kariernya, tapi juga menjadi ikon MCU dan wajah yang tak tergantikan hingga lebih dari satu dekade berikutnya.

Proses produksi Iron Man juga penuh dengan improvisasi. Naskah film belum sepenuhnya selesai saat syuting dimulai. Banyak adegan, termasuk dialog antara karakter, dikerjakan secara spontan di lokasi syuting. Jeff Bridges, pemeran villain Obadiah Stane, mengaku agak stres karena naskah berubah terus menerus di tengah produksi. Namun ia juga memuji kebebasan kreatif yang diberikan Favreau, yang memungkinkan aktor menggali karakter mereka lebih dalam. Justru karena ketidakteraturan itu, katanya, film ini terasa hidup dan natural. Downey dikenal sangat aktif mengembangkan karakter Tony Stark dengan menambahkan humor, kedalaman, dan ketidakterdugaan yang menjadi ciri khas Iron Man. Hal ini memberikan nuansa segar dibandingkan film superhero sebelumnya yang lebih kaku dan gelap.

Salah satu fakta paling menarik adalah bahwa adegan ikonik Tony Stark yang berkata, “I am Iron Man,” sebenarnya bukan bagian dari naskah awal. Kalimat itu diimprovisasi oleh Robert Downey Jr. saat syuting, dan menurut Kevin Feige (presiden Marvel Studios), momen itulah yang secara simbolis mengubah arah semua film superhero setelahnya. Tradisi menjaga identitas rahasia seperti di film-film Spider-Man dan Batman langsung ditabrak oleh keberanian Tony Stark mengumumkan dirinya sebagai pahlawan. Keputusan ini sangat modern dan manusiawi, sekaligus mematahkan formula klasik yang sudah bertahan puluhan tahun.

Efek visualnya pun menjadi salah satu kekuatan utama film ini. Industrial Light & Magic (ILM) bekerja keras menciptakan armor Iron Man yang realistis dan dinamis, menggabungkan penggunaan kostum asli yang dikenakan oleh aktor dengan teknologi CGI canggih. Proses animasi armor terbang, ledakan roket, dan teknologi holografik Stark menjadi tolok ukur bagi film-film MCU berikutnya.

Di luar layar, kisah menarik datang dari adegan post-credit. Munculnya Nick Fury (Samuel L. Jackson) yang berbicara soal ‘Avengers Initiative‘ mengejutkan penonton dan menandai awal semesta sinematik Marvel. Adegan ini awalnya dirahasiakan ketat bahkan dari banyak kru, karena Marvel ingin menguji apakah benar penonton bersedia menunggu sampai akhir kredit demi sesuatu yang lebih besar. Eksperimen itu berhasil luar biasa dan kini menjadi standar di film-film superhero modern.

Setelah dirilis, Iron Man langsung mendapat pujian luas dari kritikus dan penonton. Film ini sukses meraih pendapatan lebih dari $585 juta di seluruh dunia dan menjadi bukti bahwa Marvel mampu berdiri di atas kaki sendiri. Kesuksesan ini tak hanya menghidupkan kembali popularitas Iron Man, karakter yang dulu bukan papan atas, tapi juga melahirkan strategi jangka panjang yang membawa Marvel Studios mendominasi Hollywood selama lebih dari satu dekade ke depan. Film ini bukan sekadar awal dari satu pahlawan, tapi awal dari sebuah era.

Selain itu, proses syuting dilakukan sebagian besar di California, termasuk di hanggar bekas markas militer yang digunakan untuk markas Stark Industries. Para kru bekerja keras untuk menggabungkan elemen dunia nyata dengan teknologi canggih yang masih fiktif saat itu. Salah satu tantangan teknis terbesar adalah bagaimana membuat armor Iron Man terlihat benar-benar fungsional dan realistis di layar, tanpa terlihat seperti kartun atau kostum plastik. Karena itu, kostum Iron Man generasi awal sebagian besar masih praktis, bukan hanya CGI, dan Bob Layton, salah satu kreator komik Iron Man, bahkan ikut memberi masukan desainnya.

Dampak budaya film ini juga luar biasa. Setelah perilisan Iron Man, karakter Tony Stark menjadi panutan baru bagi banyak penonton. Seorang miliarder playboy genius yang flamboyan tapi punya hati. Karakter ini menjadi favorit anak muda, menjadikan teknologi keren seperti J.A.R.V.I.S. atau hologram sebagai bagian dari pop culture.

Bahkan di dunia nyata, sejumlah inovator seperti Elon Musk secara terang-terangan menyatakan bahwa mereka terinspirasi oleh sosok Tony Stark versi Downey Jr. Musk bahkan muncul cameo di Iron Man 2, dan para penggemar berseloroh bahwa Tony Stark versi nyata mungkin memang dia. Pendek kata, Iron Man tak hanya mengubah arah film superhero, tapi juga menginspirasi industri teknologi dan imajinasi generasi baru.

Mouse (2021) : Drama Thriller Psikologis yang Mengajak Kita Mikir Jauh Lebih Dalam

(Sumber : https://images.app.goo.gl/ZMnJKSQDn6cVs6Dv7)

Serial Mouse lebih dari sekedar cerita tentang polisi mengejar penjahat . Ini adalah kisah yang mengajak kita berpikir lebih dalam tentang apa itu kejahatan dan apakah kejahatan itu bawaan lahir . Setelah selesai menonton , kita tidak hanya penasaran , tetapi juga memikirkan pertanyaan – pertanyaan sulit : Apakah orang yang punya gen psikopat pasti akan jadi pembunuh?

Di awal cerita , kita akan bertemu Jung Ba Reum (Lee Seung Gi) polisi muda yang baik, ramah, dan bisa diandalkan. Bersama detektif Go Moo Chi (Lee Hee-joon), ia berusaha mengungkap serangkaian pembunuhan berantai Keji yang membuat masyarakat resah . Tapi , lama-kelamaan , cerita ini mulai mengungkap sisi lain dari para tokoh , termasuk Ba Reum sendiri.

 Yang menarik dari drama Mouse ini adalah cara ceritanya dibangun . Tidak semuanya dijelaskan di awal. Banyak misteri yang sengaja dibiarkan menggantung. Kita sebagai penonton diajak untuk mencari jawabannya , dan seringkali salah . Tapi justru itu yang membuat kita semakin penasaran. Yang membuat Mouse berbeda dari drama kriminal lainnya adalah temanya : apakah sifat psikopat bisa diturunkan ?

Di dalam cerita drama ini, pemerintah bahkan melakukan tes genetik untuk mencari anak-anak yang berpotensi menjadi pembunuh atau psikopat di masa depan . Topik ini sangat berat karena menyentuh masalah moral dan kemanusiaan. Jika seseorang punya gen psikopat, apakah dia harus bersenang-senang terus-menerus ? Apakah ada kesempatan bagi mereka untuk memilih jalan hidup yang lain? Drama ini tidak memberi jawaban pasti . Malahan, ia menunjukkan berbagai sisi dari masalah itu melalui tokoh – tokohnya .

 Jung Ba Reum menjadi sosok yang sangat kompleks. Tokoh yang awalnya kita percaya sepenuhnya, tapi lama-lama membuat kita bertanya-tanya tentang segalanya . Sepanjang episodenya, kita akan dibawa ke berbagai dugaan yang berbeda-beda. Setiap kali kita merasa sudah menemukan penjelasannya , alurnya berubah lagi.

Banyak kejutan-kejutan yang menanti di setiap episodenya, namun ada pula kejutan yang membuat penonton sangat bertanya-tanya dan tidak menyangka. Tapi yang jelas, drama ini berani menampilkan sisi lain dari berbagai tokoh di dalamnya. Tidak semua tokoh bisa dinilai dari satu sisi saja . Bahkan tokoh yang terlihat baik pun bisa menyimpan sisi gelap , dan yang terlihat keras terkadang menyimpan luka yang dalam .

Drama Mouse ini juga menggambarkan bagaimana trauma masa kecil bisa membentuk seseorang. Beberapa tokoh tumbuh dengan luka, dan dari sana muncul kebencian, kemarahan, dan kesalahan. Bukan untuk membenarkan tindakan mereka, tapi agar kita bisa lebih mengerti bahwa segala yang terjadi di kemudian hari pasti ada sebabnya.

Jika biasanya drama kriminal fokus pada siapa pelakunya, drama Mouse ini justru lebih tertarik pada pertanyaan kenapa dia jadi seperti itu?. Hal ini memberi kita pelajaran bahwa semua hal tidak boleh dilihat dari satu sisi saja, tetapi kita harus melihat dari berbagai sisi dan mencari tahu penyebab hal itu bisa terjadi.

Ceritanya lebih banyak tentang psikologi, konflik batin , rasa bersalah, dan perjuangan melawan diri sendiri. Yang membuat cerita ini semakin kuat adalah ketegangan yang terjaga dan latar belakang tokoh yang mendalam . Misalnya, Ba Reum bukan hanya tokoh utama, tapi juga simbol pertarungan antara memaafkan dan melawan. Apakah seseorang bisa berubah? Atau pada akhirnya, masa lalu dan genetik akan menentukan jalan hidup seseorang?

Episode terakhir Mouse mungkin akan memicu banyak kejadian . Ada yang merasa puas , ada juga yang merasa campur aduk. Tapi yang pasti, cerita ini tidak memberikan jawaban yang tuntas. Banyak hal yang dibiarkan terbuka, dan mungkin itu yang membuat drama ini terasa lebih nyata.

Mouse adalah drama yang membuat kita berpikir dan merasakan. Ini bukan hanya tentang kasus kriminal, tapi juga tentang bagaimana seseorang dipengaruhi oleh lingkungan, trauma, dan warisan yang tidak mereka pilih. Drama ini cocok untuk cerita yang penuh kejutan , tidak mudah ditebak, dan pertanyaan moral yang membuat kita berpikir. Mungkin bagi sebagian penonton drama ini sulit untuk ditebak hingga perlu fokus yang tinggi saat menonton, tapi bagi yang bertahan sampai akhir, Mouse akan meninggalkan kesan yang mendalam.

Hidup tidak selalu berakhir dengan hasil yang baik atau jelas. Kadang-kadang , kita hanya bisa menghadapi akibat dari pilihan yang sudah dibuat, meskipun niat awalnya baik. Dan Mouse menunjukkannya dengan cara yang berani.

Sinopsis Kung Fu Hustle: Perpaduan Komedi & Aksi Kung Fu yang Menggebrak Layar Lebar

Pinterest.com/do_yoon_

Kung Fu Hustle adalah film aksi-komedi yang dirilis pada tahun 2004 dan disutradarai oleh Stephen Chow, yang juga menjadi pemeran utama dalam film ini. Berlatar di Shanghai pada era 1940-an, film ini menyuguhkan kisah unik seorang pria biasa yang tanpa sengaja terlibat dalam konflik besar antara warga biasa dan kelompok kriminal paling ditakuti di kota itu Geng Kapak Merah. Dengan menggabungkan unsur kung fu klasik, komedi slapstick, serta visual efek yang menawan, Kung Fu Hustle berhasil menjadi salah satu film Hong Kong paling ikonik dan sukses secara internasional.

Alur Cerita

  1. Ambisi Seorang Pria Biasa

Tokoh utama, Sing (diperankan oleh Stephen Chow), adalah seorang pemuda miskin yang bercita-cita menjadi anggota Geng Kapak Merah, sebuah organisasi kriminal kejam yang dipimpin oleh Brother Sum. Bersama temannya Bone, Sing mencoba menarik perhatian geng tersebut dengan berpura-pura menjadi anggotanya dan berupaya memeras para penghuni sebuah rumah susun miskin bernama Pigsty Alley.

  1. Terungkapnya Para Pendekar Tersembunyi

Upaya Sing gagal total dan malah memicu konfrontasi besar. Hal yang mengejutkan, tiga penghuni Pigsty Alley yang selama ini tampak seperti warga biasaternyata adalah pendekar kung fu hebat. Mereka berhasil mengalahkan anggota Geng Kapak yang datang menyerang, sehingga perhatian Brother Sum pun beralih pada kawasan tersebut.

  1. Dari Penipu Menjadi Alat Geng

Sing dan Bone akhirnya ditangkap oleh Geng Kapak karena penyamaran mereka. Namun, Brother Sum melihat potensi tersembunyi dalam diri Sing, terutama setelah ia menunjukkan keahliannya dalam membuka kunci dengan cepat. Sing kemudian direkrut untuk menjalankan sebuah misi berbahaya.

  1. Misi Membebaskan The Beast

Tugas yang diberikan kepada Sing adalah membebaskan seorang pendekar kung fu legendaris namun gila, yang dikenal dengan nama The Beast, dari rumah sakit jiwa. The Beast adalah senjata rahasia Brother Sum untuk menghancurkan para pendekar di Pigsty Alley.

  1. Pertarungan Epik dan Transformasi Sing

Pertarungan klimaks terjadi ketika The Beast datang ke Pigsty Alley dan menghancurkan segalanya. Namun, secara mengejutkan, Sing yang mengalami cedera parah justru mengalami pencerahan spiritual dan fisik. Ia berubah menjadi pendekar kung fu sejati dengan jurus tapak Buddha yang memiliki kemampuan luar biasa. Dalam pertempuran terakhir yang penuh aksi dan komedi, Sing menghadapi The Beast dan Geng Kapak untuk menyelamatkan warga Pigsty Alley.

Gaya dan Keunikan Film

Kung Fu Hustle menonjol dengan gaya penyutradaraan yang unik dari Stephen Chow. Film ini memadukan unsur slapstick ala kartun dengan koreografi pertarungan kung fu yang spektakuler. Visual efek digunakan secara kreatif untuk memperkuat kesan komedi sekaligus dramatis. Selain itu, penggunaan musik klasik dan adegan-adegan yang terinspirasi dari film Hollywood klasik memberikan warna tersendiri.

Film ini meraih kesuksesan luar biasa di box office internasional dan dipuji oleh kritikus film di berbagai negara. Kung Fu Hustle bukan hanya berhasil secara komersial, tetapi juga memperkenalkan gaya komedi khas Stephen Chow ke pasar global. Film ini menjadi simbol modernisasi film kung fu dengan balutan teknologi dan selera humor masa kini.

Kesimpulan

Kung Fu Hustle adalah contoh sempurna bagaimana sebuah film dapat menyeimbangkan antara hiburan, aksi, dan komedi tanpa kehilangan kedalaman cerita. Melalui transformasi karakter Sing dari seorang penipu menjadi pahlawan, film ini mengajarkan bahwa bahkan orang biasa pun bisa memiliki potensi luar biasa jika diberi kesempatan dan motivasi yang tepat. Film ini bukan hanya menjadi hiburan semata, tetapi juga warisan sinematik dari perfilman Asia yang patut dikenang.

Dilema Antara Cinta, Moral, dan Uang, Dalam Film “Indecent Proposal”

Salah satu cara saya mengejawantahkan “Liburan Anti Boncos” adalah dengan menonton ulang berbagai film lama yang ada di library film yang saya miliki.

Salah satunya film drama romantis “kontroversial” berjudul, “Indecent Proposal”  yang pada masanya cukup menghebohkan, karena dianggap “tidak bermoral” dan mencederai nilai-nilai pernikahan.

Film yang dirilis tahun 1993 dan disutradarai Adrian Lyne serta dibintangi Robert Redford, Demi Moore, serta Woody Harrelson ini mengangkat isu moralitas, kesetiaan, dan kekuatan uang dalam sebuah hubungan pernikahan. 

Dengan konsep cerita yang kontroversial dan penuh emosi, film ini menimbulkan perdebatan panjang sejak perilisannya.

Namun, di balik kontroversinya, film lama namun masih bisa dianggap relevan dengan keadaan terkini, seakan menjadi sebuah potret ekstrem dari dilema nyata yang banyak dihadapi pasangan di dunia, bagaimana cinta, materi, dan moralitas saling berinteraksi, dan mengapa konflik di antara mereka dapat berujung pada kehancuran sebuah institusi sakral bernama ‘Pernikahan.’

Ketika Ekonomi Menggoyahkan Fondasi Cinta
Pernikahan, sejatinya, adalah ikatan yang didasari cinta, komitmen, dan kepercayaan. Namun, fakta tak terbantahkan menunjukkan bahwa faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab utama, bahkan mayoritas, perceraian di seluruh dunia. 

Di Indonesia, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 mencatat “perselisihan dan pertengkaran terus-menerus” sebagai alasan perceraian terbanyak (62,80% – 251.125 kasus), dari total kasus perceraian yang mencapai 394.608 kasus, dengan masalah ekonomi sebagai penyebab perceraian terbesar kedua (25,04% – 100.198 kasus). 

Uniknya, setelah membaca sejumlah analisis mendalam dari berbagai Pengadilan Agama di Indonesia, seringkali mengungkapkan bahwa masalah ekonomi adalah akar dari banyak perselisihan dan pertengkaran yang tak berkesudahan. 

Ini terutama sering terjadi dalam kasus “gugat cerai” (diajukan istri) yang didasari oleh ketidakmampuan atau ketidakbertanggungjawaban suami dalam menafkahi keluarga.

Secara global, sejumlah studi dan survei juga menguatkan temuan ini. Tekanan finansial atau kesulitan ekonomi secara konsisten menduduki peringkat teratas sebagai pemicu perceraian. Sebuah survei yang dilakukan oleh Yahoo Finance pada tahun 2021 menemukan bahwa problem finansial menjadi konflik terbesar dalam 40% perselisihanrumah tangga dalam  jangka panjang. 

Perdebatan tentang uang bahkan disebut-sebut sebagai pemicu perceraian yang lebih kuat daripada perdebatan tentang topik lain seperti anak atau pekerjaan rumah tangga. 

Sonya Britt, seorang peneliti dari Kansas State University, dalam studinya tahun 2012 yang diterbitkan di Family Relations Journal, secara tegas menyatakan, “Pertengkaran tentang uang adalah prediktor utama perceraian, jauh di atas anak-anak, seks, mertua, atau hal lainnya.” . 

Mengutip, M Brent Donnellan dalam jurnalnya bertajuk”The Effects of Economic Hardship” Family Stress Theory menjelaskan bagaimana tekanan finansial yang kronis dapat meningkatkan tingkat stres individu, merusak komunikasi, dan mengikis keintiman emosional.

Menariknya, hubungan antara pendapatan dan perceraian tidak selalu linear. Sebuah studi yang diterbitkan di Demography oleh Alexandra Killewald dkk. mengindikasikan bahwa tingkat perceraian cenderung menurun seiring peningkatan pendapatan hingga titik tertentu (sekitar US$200.000 per tahun di AS). 

Ini masuk akal, karena pendapatan yang mencukupi mengurangi stres harian, memungkinkan akses ke sumber daya penunjang pernikahan (seperti konseling), dan menciptakan stabilitas. 

Namun, ada fenomena yang lebih kompleks: pada pendapatan yang sangat tinggi (sekitar US$600.000 per tahun ke atas), tingkat perceraian meningkat kembali. 

Ini mengisyaratkan bahwa kekayaan ekstrem membawa tantangan unik tersendiri, seperti jadwal kerja yang sangat menuntut, perbedaan pandangan dalam pengelolaan aset yang masif, hingga potensi godaan untuk bercerai menjadi lebih besar.

Indecent Proposal, Potret Dramatis Dilema Moral di Tengah Tekanan Materi
Fenomena kompleks inilah yang secara gamblang diilustrasikan oleh yang mengisahkan David (Woody Harrelson) dan Diana Murphy (Demi Moore), pasangan muda yang dilanda krisis finansial hebat setelah firma arsitektur yang mereka dirikan diambang kehancuran akibat krisis finansial yang dialaminya.

Mereka adalah contoh sempurna bagaimana tekanan materi yang ekstrem dapat mendorong individu dan pasangan ke ambang batas rasionalitas dan moralitas. 

Dalam keputusasaan, mereka pergi ke Las Vegas dan di sana, bertemu dengan John Gage (Robert Redford), seorang miliarder karismatik.

Setelah sempat berinteraksi dengan keduanya, Gage kemudian menawarkan sebuah tawaran kontroversial: 

“Suppose i will over you one million dollar with your wife” katanya, kepada David, sang Suami, US$1 juta untuk satu malam bersama Diana,istrinya.

Yumeko & film BET (2025): Sekolah dan Kurikulum Perjudian

Cuplikan Film

Apa jadinya jika sebuah sekolah elit menjadikan perjudian sebagai kurikulum utama, dan masa depan para pewaris kekuasaan dunia ditentukan oleh selembar kartu dan strategi penuh tipu daya?

Serial “BET“, yang resmi tayang di Netflix pada 15 Mei 2025, langsung mencuri perhatian dengan menduduki jajaran Top 10 Netflix Global. Termasuk saya sendiri yang nonton. Serial ini merupakan adaptasi bebas dari manga populer Kakegurui, namun versi ini menghadirkan nuansa yang lebih gelap, realistis, dan sarat intrik politik kelas atas. Simon Barry menjadi sutradara film ini, BET tidak sekadar menjiplak versi orisinal, tetapi menawarkan dunia baru dengan karakter dan dinamika sosial yang lebih kompleks.

Sekolah atau Arena Pertarungan Pewaris Dunia?

Cerita berpusat di St. Dominic’s, sekolah swasta internasional yang hanya menerima anak-anak dari keluarga elit dunia—mulai dari bos kriminal, taipan bisnis, hingga petinggi pemerintahan. Namun, alih-alih mata pelajaran seperti matematika atau sejarah, para siswa di sekolah ini dididik melalui praktik perjudian ekstrem. Di balik gemerlap kemewahan dan etika aristokrat, tersembunyi praktik penipuan, eksploitasi, perbudakan, bahkan pembunuhan bagi yang kalah. Sistem ini didesain bukan untuk mendidik, tetapi mengasah kelicikan, ketahanan mental, dan kecakapan strategi—karakter wajib bagi pewaris kekuasaan global.

Yumeko: Wajah Datar, dengan Dendam Membara

Di tengah atmosfer penuh tipu muslihat itu, hadir sosok Yumeko, gadis muda dengan ekspresi dingin dan kemampuan judi yang luar biasa. Yumeko dengan hem putih dan rok pendek memberikan unsur intrik ditambah suaranya yang lucu, bukan sekadar murid biasa—ia datang dengan misi balas dendam. Kedua orang tuanya, yang merupakan anggota senior klub rahasia Kakegurui, tewas secara tragis akibat pengkhianatan internal. Mereka sempat menciptakan sistem keuangan rahasia senilai 30 miliar dolar bernama Bitcoin yang kini direbut oleh dewan alumni Kekegurui.

Yumeko bergabung di St. Dominic’s bukan untuk uang, melainkan untuk menelusuri jejak pembunuh orang tuanya, seorang alumni legendaris bernama Ray, dan hendak menggulingkan sistem bobrok yang telah berjalan di St. Dominic’s. Di tiap permainan ia memainkan judi dengan integritas keadilan yang tidak diterapkan di sekolah tersebut. Komitmen ini ia pegang dalam tiap tantangan sekalipun berisiko tinggi.

Sepanjang film, Yumiko menjadi ikonic film yang memukau. Tatapannya begitu dingin dan agresif, kepiawaiannya dalam bermain kartu jadi nilai tersendiri yang menarik spenajang film.

-

Lucunya Jung Kyung Ho Bertemu Client Dari Dunia Roh Di ‘Oh My Ghost Clients’, Begini Ringkasan Sinopsisnya

Poster Drama 'Oh My Ghost Clients' (sumber: Instagram.com/mbcdrama_now)

MBC kembali menghadirkan tontonan seru bagi penggemar Drama Korea. Drama komedi-fantasi yang dibintangi oleh Jung Kyung Ho, Seol In Ah, dan Cha Hak Yeon ini berjudul 노무사 노무진 (Nomusa Noh Mujin) yang berarti ‘Si Pengacara Ketenagakerjaan Noh Mujin’. Drama ini juga dikenal dengan judul Internasionalnya yang bertajuk ‘Oh My Ghost Clients’. Pemilihan judul tersebut tentu saja berkaitan dengan kisah unik yang dihadirkan drama tersebut. Bagaimana kisahnya?

Simak Sinopsis Drama ‘Oh My Ghost Clients‘ berikut ini.

‎Bekerja pada bidang hukum membuat Noh Mujin (diperankan Jung Kyung Ho) harus bersenggolan dengan isu-isu sosial yang berkenaan dengan permasalahan orang-orang dalam dunia kerja. Sebagai pengacara ketenagakerjaan, ia mengerahkan seluruh usahanya untuk membantu mereka. Namun, ada yang unik dari perwujudan ‘client’ yang dimaksud dalam perjalanan kisah ini. Alih-alih hanya berkutat dengan dunia manusia, Noh Mujin malah berakhir menghadapi para client dari dunia roh. Secara tidak sengaja Noh Mujin telah menghidupkan unsur supranatural dalam dunia pekerjaannya sebagai pengacara. Dibantu oleh saudara iparnya, Na Hui Ju (diperankan Seol In Ah), satu persatu permasalahan kerja di masa lalu para ‘client hantu’ perlahan terselesaikan. Permasalahan para roh yang dihadapi Noh Mujin didominasi oleh ketidakadilan di tempat kerja sebelum mereka meninggal, berbagai permasalahan membuat mereka berakhir menjadi arwah yang tidak tenang. Kecelakaan kerja tanpa pertanggungjawaban, diskriminasi, diberhentikan secara sepihak, hingga kasus eksploitasi tenaga kerja merupakan kasus-kasus yang harus diselesaikan agar para client-nya dapat menuju akhirat dengan tenang. Meskipun Noh Mujin mulanya enggan menanggapi permasalahan client hantunya itu, tapi pada akhirnya peristiwa ini membuka pandangannya tentang pahitnya dunia kerja. Hal ini menjadi pemicu akan penghidupan kembali sisi idealismenya sebagai pengacara. Dengan kerja sama yang penuh dinamika bersama saudara iparnya, rentetan kasus para client hantu ini mampu membuat Noh Mujin menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab. Kisah ini menanamkan pesan-pesan sosial yang begitu kental, khususnya di dunia pekerjaan. Segala peristiwa yang dihadapi Noh Mujin dengan para client hantunya menampilkan kritik sosial yang mampu membuka pandangan para penonton untuk lebih menghargai sesama rekan dalam dunia kerja.

Cuplikan Drama 'Oh My Ghost Clients' (sumber: Instagram.com/mbcdrama_now)

Menarik, bukan? Melalui trailer yang dipublikasi MBC pada platform Instagram @mbcdrama_now, drama ini menampilkan scene-scene seru dan menyegarkan. Tak dapat dipungkiri bahwa Sutradara Yim Soon-Rye mampu menciptakan world building dan nuansa fantasi-komedi yang apik dalam pengejawantahan naskah karya Penulis Kim Bo-Tong dan Yoo Seung Hee. Ditambah dengan keterampilan para aktor-aktrisnya yang memukau, drama ini digadang-gadang sebagai salah satu drama musim semi yang paling ditunggu-tunggu penggemar. Nomusa Noh Mujin alias Oh My Ghost Clients akan tayang secara daring pada aplikasi Viu tanggal 30 Mei 2025 pada pukul 21.50 KST atau sama dengan 19.50 WIB.

Film GJLS: Ibuku Ibu-Ibu akan Tayang 12 Juni 2025

Rigen Rakelna, Ananta Rispo, dan Hifdzi Khoir dalam film GJLS: Ibuku Ibu-Ibu. Dok. Amadeus Sinemagna

 GJLS: Ibuku Ibu-Ibu menjadi film debut layar lebar dari grup komedi GJLS yang akan tayang pada Kamis, 12 Juni 2025 di bioskop Indonesia. Film drama-komedi keluarga ini menghadirkan kisah tiga bersaudara, yaitu Rigen Rakelna, Ananta Rispo, dan Hifdzi Khoir.

Ketiga bersaudara tersebut digambarkan sebagai orang yang sama-sama absurd, egois, dan tidak bisa diandalkan. Namun mereka menjadi kompak demi bisa menggagalkan pernikahan sang ayah. Film garapan sutradara Monty Tiwa ini menjanjikan jalan cerita yang relate dengan banyak keluarga Indonesia, dari sisi emosional, kekonyolan, dan kehangatannya.

Poster dan trailer GJLS: Ibuku Ibu-Ibu dirilis dalam rangkaian acara spesial yang digelar di Jakarta Marketing Week 2025, Grand Atrium Kota Kasablanka pada Jumat, 23 Mei 2025. Dalam posternya, wajah para karakter sengaja diblur alias tidak jelas. Ada juga satu karakter perempuan misterius yang wajahnya sengaja disembunyikan.

“Kami sengaja bikin posternya blur, karena blur di poster itu mewakili sesuatu yang enggak jelas alias absurd, yang adalah ciri khas dari komedi GJLS. Film ini memang tidak menawarkan kesempurnaan karakter, tapi kekacauan yang penuh kasih sayang namun enggak ketinggalan yang pasti menghibur dan bikin ketawa,” kata Indra Yudhistira, selaku Executive Producer dari Amadeus Sinemagna.

Monty Tiwa mengungkapkan bahwa keputusan untuk menggarap film ini berawal dari ketertarikannya pada karya pendek GJLS di YouTube berjudul KUYUP, yang sempat viral dan diapresiasi para filmmaker. Selama syuting, ia dan kru dibuat terawa setiap hari.

“GJLS itu kayak syuting sambil nongkrong di warung kopi, script bisa berubah tiap 5 menit, bloopers lebih banyak dari take yang benar. Tapi justru di situ letak keajaibannya. Mereka absurd, tapi jujur dan penuh semangat,” ujarnya.

Film GJLS: Ibuku Ibu-Ibu turut dibintangi oleh Nadya Arina, Bucek, Luna Maya, dan Reynavenzka Deyandra. Maxime Bouttier dan Umay Shahab juga akan muncul sebagai kameo.

Lagu Komang Karya Raim Laode Kembali Viral Setelah Diangkat Jadi Film

(( Foto: Poster Film Bioskop

Beberapa tahun yang lalu, saya pertama kali mendengarkan lagu “Komang” secara tidak sengaja lewat sebuah video singkat di media sosial. Seketika saya terpaku. Lagu itu sederhana, jujur, namun begitu menyentuh. Melodi yang lembut dan lirik yang dalam membuatnya terasa sangat personal, seolah Raim Laode sedang berbicara langsung kepada orang yang paling ia cintai. Tak heran jika lagu ini kemudian menjadi viral dan sangat dicintai banyak orang.

Namun, siapa sangka, setelah sempat meredup dari perbincangan publik, “Komang” kembali mencuri perhatian. Bukan karena Raim Laode merilis versi baru atau tampil di ajang musik besar, melainkan karena lagu ini diangkat menjadi film layar lebar. Ya, sebuah lagu yang berdurasi hanya beberapa menit, kini menjelma menjadi sebuah karya sinematik berdurasi penuh, yang tayang di bioskop seluruh Indonesia.

Bagi saya pribadi, “Komang” bukan hanya lagu tentang cinta, tapi juga tentang ketulusan dan penerimaan. Raim menulis lagu ini untuk istrinya, Komang Ade Widiandari, dan di setiap bait liriknya, kita bisa merasakan kekaguman yang mendalam, rasa syukur, dan cinta yang nyaris tak bisa diungkapkan dengan kata-kata biasa. Lirik seperti “Dialah cahaya di mataku, dialah denyut di jantungku” bukan sekadar puitis, tapi terasa tulus dan nyata.

Lagu ini seolah merayakan kehadiran seseorang yang mengubah seluruh hidup seseorang lainnya. Tidak dramatis, tidak berlebihan, justru itulah kekuatannya. Dan rupanya, kekuatan itulah yang mendorong lahirnya sebuah film dengan judul yang sama.

Film “Komang” bukan sekadar adaptasi bebas dari lagu tersebut, tapi merupakan visualisasi langsung dari kisah cinta yang melatarbelakangi terciptanya lagu itu. Saya cukup terkejut ketika tahu bahwa film ini benar-benar menceritakan perjalanan Raim dan Komang dari awal pertemuan mereka di Baubau, Sulawesi Tenggara, hingga akhirnya bersatu sebagai suami istri. Kisah nyata yang difilmkan ini tidak dibuat-buat atau dibumbui secara berlebihan, tapi disampaikan dengan pendekatan yang sangat manusiawi dan menyentuh.

Dalam film ini, kita diajak menyelami perjuangan dua insan yang berasal dari latar belakang berbeda—Raim dari Buton, yang tumbuh dalam budaya Bugis, sementara Komang berasal dari keluarga Bali yang sangat menjunjung tinggi adat dan tradisi. Perbedaan ini bukan hanya budaya, tapi juga agama. Dan seperti banyak kisah nyata di negeri ini, perbedaan itu menjadi tantangan utama yang harus mereka lewati bersama.

Film ini tidak menawarkan kisah cinta ala dongeng yang mulus dan penuh romansa indah. Justru yang saya temukan adalah realitas hubungan: adanya keraguan, perdebatan, ketakutan akan penolakan orang tua, serta ketidakpastian masa depan. Namun, di tengah semua itu, ada cinta yang terus bertahan dan tidak menyerah.

Yang menarik bagi saya adalah bagaimana film ini tidak menjadikan perbedaan agama sebagai konflik yang disudutkan atau diperdebatkan secara frontal. Sebaliknya, perbedaan itu dipandang sebagai bagian dari kehidupan yang harus dihadapi dengan kepala dingin, hati terbuka, dan tekad yang kuat.

Sebagai penonton, saya merasakan bagaimana lirik lagu “Komang” diterjemahkan dengan sangat indah ke dalam gambar-gambar yang kuat dan penuh emosi. Setiap adegan seolah menjadi perpanjangan dari lirik lagu tersebut—ada momen di mana keheningan lebih menyampaikan makna ketimbang dialog panjang. Pemandangan laut di Baubau, senyum malu Komang, tatapan dalam Raim—semuanya terasa seperti puisi yang bergerak.

Film ini juga tidak berusaha menjadi terlalu besar atau terlalu sinematik. Justru kesederhanaannya adalah kekuatannya. Seperti lagu “Komang” itu sendiri, film ini mengandalkan rasa, bukan efek besar-besaran. Dan itulah yang membuatnya begitu mengena.

DASIM: Ketika Jin Perselingkuhan Cuma Bikin Ngantuk, Bukan Merinding

Sumber Gambar: https://www.imdb.com/title/tt34188079/

Gue kira awalnya DASIM bakal jadi gebrakan baru dalam dunia horor Indonesia—perpaduan antara misteri rumah tangga dan gangguan jin. Tapi ternyata, alih-alih bikin gue merinding sampai gak bisa tidur, film ini malah kayak tontonan menjelang tidur siang hari Minggu. Tenang, pelan, dan… sayangnya, terlalu biasa.

Film ini buka dengan konflik klasik pasangan muda yang baru menikah. Kehidupan rumah tangga yang manis mulai retak karena kehadiran ‘pihak ketiga’. Tapi bukan orang—melainkan sosok tak kasat mata bernama Jin Dasim, yang konon memang spesialis ngacak-ngacak rumah tangga manusia.

Dari awal, vibes-nya lumayan menjanjikan. Misteri kecil diselipkan lewat suara-suara aneh, perasaan diawasi, sampai keretakan emosi antar pasangan yang makin memburuk. Tapi begitu masuk ke tengah cerita, ritmenya mulai datar. Drama pernikahan yang sebenarnya bisa emosional, malah disajikan kayak sinetron sore yang kehabisan tenaga. Intensitas horornya pun kayak males naik level—teror dari jin Dasim yang harusnya bikin penonton sesak napas, malah terasa bisa dihitung jari.

Secara teknis, DASIM nggak sepenuhnya buruk. Gue akui, ada beberapa momen jump scare yang lumayan efektif. Tapi ya, cuma “lumayan”. Penampakan Jin Dasim—entah itu sosok berjubah hitam, perempuan bergaun merah, atau yang bertanduk—gak meninggalkan kesan mendalam. Visualnya kurang tajam, suasananya kurang mencekam. Apalagi sound design-nya malah kadang ganggu.

Yang lebih bikin nyesek adalah plot twist di akhir film. Harusnya bisa jadi puncak yang ‘nendang’, malah terasa dipaksakan. Scene ruqyah yang mestinya jadi klimaks, justru kayak terburu-buru dan gak punya tenaga. Sayang banget, padahal misteri awalnya sempat bikin penasaran.

Dari sisi cerita, gue juga ngerasa kurang adil. Film ini cuma fokus pada sudut pandang istri yang diganggu, tanpa ngasih ruang untuk memahami sisi suaminya. Padahal, tema horor rumah tangga kayak gini akan lebih menggigit kalau perspektif dua belah pihak dikasih ruang.

DASIM punya potensi—premisnya unik, cast-nya pun gak kalah menarik. Tapi eksekusinya terlalu datar. Drama perselingkuhan yang harusnya menyakitkan, justru gak bikin penonton marah atau sedih. Horornya pun gak cukup ‘horor’. Gua percaya, kalau konsep film ini digarap lebih berani, bisa aja jadi hits. Tapi sayangnya, sekarang cuma bisa bilang: sayang banget sih, ini film keburu ‘dingin’ sebelum sempat panas.Kalau kamu nyari tontonan yang bisa bikin kamu lompat dari kursi karena takut, mungkin DASIM bukan pilihan utama. Tapi kalau kamu lagi pengin nonton drama rumah tangga yang (sedikit) mistis, ya… bolehlah dilirik, walau jangan berharap banyak.