Elizabeth Olsen Klaim Tak Bintangi Avengers: Doomsday dan Secret Wars

Elizabeth Olsen mengklaim dirinya tak akan ikut membintangi Avengers: Doomsday dan Avengers: Secret Wars.

Elizabeth Olsen memastikan dirinya tak ikut membintangi Avengers: Doomsday dan Avengers: Secret Wars yang akan menjalani syuting di London, Inggris, dalam waktu dekat.
Pemeran Scarlet Witch itu mengungkap nasibnya di dua proyek terbaru Avengers dalam wawancara The Hollywood Reporter. Ia yang baru selesai syuting film Panic Carefully di London itu mengaku segera kembali ke Amerika Serikat untuk syuting proyek lainnya.

“Tidak, saya kembali [ke Amerika Serikat]. Saya baru selesai syuting [Panic Carefully]. Saya berlanjut untuk syuting episode pilot untuk proyek FX [Seven Sisters],” ungkap Elizabeth Olsen, Senin (24/3).

Meski telah membantah, keterlibatan Olsen di Doomsday maupun Secret Wars belum sepenuhnya tertutup. Ia masih berpotensi tampil kembali dan berusaha menutupi keterlibatannya dalam bagian penutup The Multiverse Saga.

Hal itu dapat terjadi karena syuting Avengers: Doomsday akan berjalan sepanjang 2025. Di sisi lain, Olsen hanya syuting untuk episode pilot Seven Sisters karena serial itu belum mendapat lampu hijau untuk diproduksi.

Kemunculannya di film itu berakhir dengan Scarlet Witch sadar atas kesalahannya, lalu mengorbankan diri dengan menghancurkan semua salinan Darkhold di seluruh Multiverse. Ia kemudian menghancurkan Gunung Wundagore dan ikut jatuh bersama reruntuhannya.

Meski Scarlet Witch terlihat sudah mati dalam ending Doctor Strange 2, ia masih berpotensi kembali dengan berbagai skenario, seperti varian Scarlet Witch dari semesta lain karena MCU berada dalam era Multiverse Saga.

Marvel Studios sejauh ini telah mengonfirmasi sejumlah nama yang bergabung dalam Avengers: Doomsday, seperti Robert Downey Jr. dan Chris Evans.

RDJ akan menjadi villain utama bernama Doctor Doom, sementara peran Chris Evans hingga kini masih rahasia. Empat anggota Fantastic Four yang dibintangi Pedro Pascal, Vanessa Kirby, Joseph Quinn, dan Ebon Moss-Bachrach juga akan bergabung dalam film tersebut.

Fantastic Four juga menjadi grup superhero pertama yang dipastikan muncul di Avengers: Secret Wars. Sementara itu, belum ada kabar terkait bintang lain yang bergabung di puncak The Multiverse Saga tersebut.

Sedangkan, Joe dan Anthony Russo alias Russo Brothers telah ditunjuk menjadi sutradara untuk Avengers: Doomsday dan Avengers: Secret Wars.

Mereka kembali direkrut setelah diumumkan oleh Presiden Kevin Feige ketika mengisi panggung San Diego Comic Con (SDCC) pada Juli 2024.

Review Film: No Other Land

Review No Other Land: Kamera dan handphone jadi senjata, merangkai rekaman video untuk mengungkap realita penjajahan terhadap warga Tepi Barat, Palestina.

Berbagai video yang menggambarkan penjajahan Israel atas Palestina di media sosial dalam beberapa tahun terakhir sudah menyayat hati. Namun No Other Land membuat rasa nelangsa semakin menjadi.
Dokumenter 95 menit peraih Best Documentary Feature Film Piala Oscar 2025 ini memang bukan berlatar agresi biadab Israel ke Jalur Gaza sejak Oktober 2023, tetapi jauh lebih lama dari itu.

No Other Land adalah secuplik kenangan penuh darah, tangis air mata, hingga nestapa tak bertepi dari seorang pemuda Palestina yang terabadikan dalam gambar bergerak sejak ia kecil.

Basel Adra adalah nama pemuda itu.

Basel Adra dan Hamdan Ballal yang merupakan jurnalis asal Palestina bekerja sama dengan jurnalis dari negara ‘penjajah’ mereka, Israel, yakni Yuval Abraham dan Rachel Szor, dalam menggarap film ini.

Selayaknya pemuda Palestina lainnya, Basel juga melawan tentara Israel untuk pergi dari kampung tanah air mereka. Namun bedanya, Basel Adra angkat kamera dan ponsel seadanya sebagai senjata.

Adra dan keluarganya sudah sejak lama dan terbiasa merekam kejadian penggusuran hingga kekerasan yang terjadi di lingkungannya karena keputusan Pemerintah Israel.

Bagi keluarga Adra, rekaman video dan foto adalah bukti autentik kepada dunia atas penjajahan yang dilakukan oleh Israel sejak puluhan tahun lalu, dan semakin menggila dalam beberapa tahun terakhir.

Rekaman video dan foto tanpa rekayasa teknologi canggih macam AI itu sudah merekam sejak Adra kecil. Bahkan, video itu juga merekam perjalanan ayah Adra yang berulang kali ditahan oleh tentara Israel.

Namun rekaman yang dikhususkan untuk dokumenter ini digarap antara 2019 hingga 2023 di Masafer Yatta, Tepi Barat, dan tuntas pada Oktober 2023, bulan yang sama saat Perang Gaza meletus.

Penggusuran tentara Israel terhadap warga desa, perusakan pada satu-satunya sekolah dasar di desa, hingga perusakan ke sumber air yang dimiliki warga Palestina menjadi sajian dokumenter ini.

Bahkan, aksi penembakan terhadap salah satu tetangga Adra oleh tentara Israel tertangkap dengan jelas dalam dokumenter ini. Tanpa rekayasa, tanpa setting-an.

Karena diambil dengan sejujur dan seapa-adanya, maka jangan harap ada sinematografi indah atau tata suara megah. Semua gambar aksi genosida dan penjajahan Israel atas warga Palestina ini berbicara dengan sendirinya.

Maka dari itu, No Other Land tak memberikan tempat lain bagi penonton untuk pergi dan kabur dari berbagai kejadian yang meremas rasa kemanusiaan.

Meski tak ada beauty shoot atau pengambilan gambar kamera yang proper, bahkan beberapa shoot terlihat amatir, seluruh visual dokumenter ini tak membosankan karena ketegangan kisahnya sudah bercerita sendiri tanpa perlu banyak narasi.

Penonton seperti diajak langsung ke medan perang, berhadapan dengan tentara Israel, serta ikut berunjuk rasa dengan warga desa memprotes kejahatan-kejahatan penjajah.

Tak banyak narasi dalam dokumenter ini selain dari suara Adra yang menjelaskan peristiwa yang sudah terjadi. Adra dan Abraham bukan hanya bertugas sebagai sutradara dalam film ini, tetapi juga tokoh utama di dalamnya.

Basel menampilkan perjuangannya membela tanah air kelahirannya, membantu warga setempat berunjuk rasa dan menyuarakan penderitaannya, hingga menyuarakan kondisi di daerahnya dengan mengunggah video di media sosial.

Sementara Abraham menunjukkan keberpihakannya pada Palestina dengan terus menulis soal situasi di Masafer Yatta untuk media tempat ia bekerja. Namun sayang, tak banyak artikelnya yang dibaca orang.

Percakapan antara Basel dengan Abraham menjadi hal yang sentimental bagi saya. Obrolan dua pemuda dengan nasib berbeda tapi punya kegelisahan yang sama, yakni pendudukan militer Israel di Palestina harus dihentikan.

Abraham juga menjadi pendengar yang baik saat Basel meluapkan segala emosinya hingga cita-cita yang masih ada dalam benak pemuda Palestina tersebut.

Meski begitu, dokumenter ini juga menampilkan keberadaan Yuval Abraham yang dipandang sebagai ancaman oleh warga Masafer Yatta. Apalagi kalau bukan karena latar belakang Abraham yang berasal dari negara penjajah.

No Other Land memang tak memiliki tata suara yang apik, tetapi suara alami yang datang dari tembakan, ratapan, tangisan, hingga kerusuhan sudah cukup untuk menguras emosi penonton.

Tak butuh efek CGI bagi No Other Land untuk menunjukkan seberapa biadab Israel menindas warga Palestina. Film ini hanya ingin menjadi penyiar dan penyadar warga dunia, terutama para pemimpin, untuk segera bergerak menghentikan tindakan penjajahan yang sudah ada puluhan tahun ini.

Kemenangan No Other Land di Academy Award ke-97 juga sebenarnya berhasil mengenalkan dokumenter ini ke penjuru dunia, lantaran cukup sulit karya yang menceritakan realitas di Palestina mendapatkan pengakuan di ajang internasional.

Seperti yang dikatakan Basel Adra dengan menyentuh saat memegang Piala Oscar di atas podium pada 2 Maret 2025, bahwa kenyataannya hingga saat ini warga Palestina masih ditindas oleh Israel. Yuval Abraham juga menyinggung Amerika Serikat yang belum punya langkah nyata menghentikan serangan Israel.

Dokumenter ini masih tayang terbatas di beberapa negara walau mestinya punya eksposur yang lebih luas selain daripada keliling di berbagai festival film dunia.

Saya berharap, di bulan Ramadan ini, No Other Land dan berbagai dokumentasi lainnya dari tanah Palestina akan mampu membuka lebih lapang simpati, empati, dan aksi nyata warga dunia untuk membantu membebaskan Palestina dari Israel.

Review Film The Proposal 2009 Romantis Lucu dan Menghangatkan Hati

Sumber : Galileo

Jika Anda mencari film romantis komedi yang menghibur dan penuh dengan momen mengharukan The Proposal adalah pilihan yang tepat Dibintangi oleh Sandra Bullock dan Ryan Reynolds film ini menawarkan chemistry yang kuat dialog yang cerdas dan plot yang meskipun klise tetap menyenangkan untuk diikuti Berikut adalah ulasan lengkapnya

Sinopsis Singkat

Margaret Tate Sandra Bullock adalah seorang editor eksekutif yang tegas dan ditakuti di sebuah perusahaan penerbitan di New York Ketika dia terancam dideportasi ke Kanada karena masalah visa Margaret memaksa asistennya Andrew Paxton Ryan Reynolds untuk menikahinya agar bisa tetap tinggal di Amerika Serikat Andrew yang awalnya enggan akhirnya setuju dengan syarat Margaret memenuhi beberapa permintaannya termasuk mengunjungi keluarganya di Alaska Di sana hubungan mereka yang awalnya hanya pura pura mulai berkembang menjadi sesuatu yang lebih serius

Hal Hal yang Menonjol dari Film Ini

1 Chemistry Sandra Bullock dan Ryan Reynolds

Chemistry antara Sandra Bullock dan Ryan Reynolds adalah salah satu daya tarik utama film ini Keduanya berhasil menciptakan dinamika yang lucu mengharukan dan penuh percikan Adegan adegan mereka bersama baik yang romantis maupun komedi terasa alami dan menyenangkan untuk ditonton

2 Komedi yang Menghibur

The Proposal dipenuhi dengan adegan adegan lucu yang berhasil membuat penonton tertawa Salah satu adegan yang paling diingat adalah ketika Margaret dan Andrew secara tidak sengaja bertabrakan dalam keadaan setengah telanjang Adegan ini menjadi salah satu momen paling ikonik dalam film

3 Elemen Romantis yang Manis

Meskipun plotnya terbilang klise hubungan pura pura yang berubah menjadi cinta nyata film ini berhasil menyajikan momen momen romantis yang manis dan mengharukan Perkembangan hubungan Margaret dan Andrew terasa alami dan kita sebagai penonton bisa merasakan ketegangan dan kehangatan di antara mereka.

Kekurangan Film

Plot yang Terlalu Klise Meskipun menghibur plot film ini terbilang cukup predictable Jika Anda mencari sesuatu yang benar benar baru mungkin film ini tidak akan memenuhi ekspektasi
Karakter yang Terlalu Stereotip Beberapa karakter seperti keluarga Andrew terkesan terlalu stereotip dan kurang berkembang
Pesan dan Makna

The Proposal tidak hanya sekadar film romantis komedi tetapi juga menyampaikan pesan tentang pentingnya keluarga kejujuran dan menemukan cinta di tempat yang tidak terduga Film ini mengajarkan kita bahwa terkadang cinta bisa datang dari hubungan yang awalnya hanya pura pura

Rating

Kualitas Akting 9/10
Alur Cerita 7/10
Komedi 8/10
Romantis 8/10
Overall 8/10

Dari Film The New Rulers of the Word, Globalisasi dan Perbudakan Modern: Ketimpangan Sosial di Balik Kemewahan Merek Global

Film dokumenter ini dengan tajam mengupas dampak globalisasi di Indonesia, menunjukkan bagaimana kesenjangan sosial dan ekonomi semakin melebar akibat praktik ekonomi yang eksploitatif. Globalisasi, yang awalnya dianggap sebagai jembatan menuju kemajuan, justru menjadi alat bagi korporasi besar untuk memperkaya diri dengan mengorbankan masyarakat kelas bawah. Film ini menggambarkan bagaimana perusahaan multinasional menguasai sumber daya negara, sementara rakyatnya tetap terperosok dalam kemiskinan. Dengan mengambil Indonesia sebagai studi kasus, film ini menghubungkan sejarah imperialisme dengan realitas ekonomi modern, menunjukkan bahwa meskipun zaman telah berubah, pola eksploitasi tetap berlangsung dengan wajah yang berbeda.

Indonesia telah lama menjadi target eksploitasi karena kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah. Sejak zaman kolonial, bangsa ini telah menjadi sasaran penjarahan oleh kekuatan asing. Kini, dalam era globalisasi, eksploitasi tersebut masih berlanjut dalam bentuk yang lebih terselubung dan sistematis. Perusahaan-perusahaan multinasional datang dengan janji investasi dan pembangunan, tetapi pada kenyataannya, mereka mengeruk keuntungan besar sambil meninggalkan masyarakat dalam kesulitan. Peningkatan kesejahteraan dan pembukaan lapangan kerja yang sering mereka janjikan, pada akhirnya, lebih banyak menguntungkan segelintir elite, baik di dalam maupun di luar negeri.

Salah satu sektor yang paling terdampak adalah industri manufaktur. Banyak pabrik di Indonesia yang memproduksi barang untuk merek-merek ternama dunia, tetapi kondisi kerja di dalamnya sangat memprihatinkan. Para pekerja sering kali diperlakukan layaknya budak modern. Mereka dihadapkan pada upah rendah, jam kerja panjang, dan tekanan tinggi, tanpa perlindungan tenaga kerja yang layak. Banyak dari mereka tidak memiliki pilihan selain menerima kondisi tersebut karena biaya hidup yang semakin tinggi. Upah yang mereka dapatkan bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Perusahaan multinasional juga kerap menggunakan sistem outsourcing untuk menghindari tanggung jawab mereka terhadap kesejahteraan pekerja, membuat buruh tidak memiliki akses terhadap tunjangan kesehatan, jaminan hari tua, atau hak-hak dasar lainnya.

Film dokumenter ini dengan tajam mengupas dampak globalisasi di Indonesia, menunjukkan bagaimana kesenjangan sosial dan ekonomi semakin melebar akibat praktik ekonomi yang eksploitatif. Globalisasi, yang awalnya dianggap sebagai jembatan menuju kemajuan, justru menjadi alat bagi korporasi besar untuk memperkaya diri dengan mengorbankan masyarakat kelas bawah. Film ini menggambarkan bagaimana perusahaan multinasional menguasai sumber daya negara, sementara rakyatnya tetap terperosok dalam kemiskinan. Dengan mengambil Indonesia sebagai studi kasus, film ini menghubungkan sejarah imperialisme dengan realitas ekonomi modern, menunjukkan bahwa meskipun zaman telah berubah, pola eksploitasi tetap berlangsung dengan wajah yang berbeda.

Indonesia telah lama menjadi target eksploitasi karena kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah. Sejak zaman kolonial, bangsa ini telah menjadi sasaran penjarahan oleh kekuatan asing. Kini, dalam era globalisasi, eksploitasi tersebut masih berlanjut dalam bentuk yang lebih terselubung dan sistematis. Perusahaan-perusahaan multinasional datang dengan janji investasi dan pembangunan, tetapi pada kenyataannya, mereka mengeruk keuntungan besar sambil meninggalkan masyarakat dalam kesulitan. Peningkatan kesejahteraan dan pembukaan lapangan kerja yang sering mereka janjikan, pada akhirnya, lebih banyak menguntungkan segelintir elite, baik di dalam maupun di luar negeri.

Salah satu sektor yang paling terdampak adalah industri manufaktur. Banyak pabrik di Indonesia yang memproduksi barang untuk merek-merek ternama dunia, tetapi kondisi kerja di dalamnya sangat memprihatinkan. Para pekerja sering kali diperlakukan layaknya budak modern. Mereka dihadapkan pada upah rendah, jam kerja panjang, dan tekanan tinggi, tanpa perlindungan tenaga kerja yang layak. Banyak dari mereka tidak memiliki pilihan selain menerima kondisi tersebut karena biaya hidup yang semakin tinggi. Upah yang mereka dapatkan bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Perusahaan multinasional juga kerap menggunakan sistem outsourcing untuk menghindari tanggung jawab mereka terhadap kesejahteraan pekerja, membuat buruh tidak memiliki akses terhadap tunjangan kesehatan, jaminan hari tua, atau hak-hak dasar lainnya.

Selain aksi protes, ada pula upaya masyarakat untuk membangun sistem ekonomi alternatif yang lebih adil. Beberapa komunitas mulai mengembangkan koperasi dan usaha berbasis komunitas sebagai cara untuk melawan dominasi perusahaan besar. Gerakan petani misalnya, mulai kembali ke sistem pertanian tradisional yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan, menolak penggunaan benih hasil rekayasa genetika yang dikendalikan oleh korporasi asing. Selain itu, pengrajin lokal mulai memasarkan produk mereka secara langsung ke konsumen tanpa melalui perantara perusahaan besar, sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan yang lebih layak. Ini menunjukkan bahwa ada cara lain untuk bertahan di tengah gempuran globalisasi tanpa harus tunduk pada eksploitasi kapitalisme global.

Pada akhirnya, film ini tidak hanya menjadi kritik terhadap globalisasi, tetapi juga sebuah ajakan untuk berpikir lebih kritis mengenai dampaknya terhadap masyarakat. Globalisasi seharusnya tidak hanya menguntungkan segelintir orang, tetapi juga membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Tantangan terbesar yang dihadapi saat ini adalah bagaimana menciptakan sistem ekonomi yang lebih berkeadilan, di mana sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, bukan hanya untuk memperkaya segelintir elite. Masyarakat perlu mengambil langkah aktif untuk melawan ketidakadilan ini, baik melalui gerakan sosial, kebijakan ekonomi alternatif, maupun dengan mendukung produk dan usaha lokal.

Dengan menyajikan berbagai realitas pahit yang terjadi di Indonesia, film ini mengajak penonton untuk merenungkan kembali makna globalisasi dan implikasinya bagi kehidupan sehari-hari. Apakah globalisasi benar-benar membawa kemajuan, atau justru semakin memperparah ketimpangan sosial? Apakah masyarakat bisa merebut kembali kendali atas ekonomi mereka, atau akan terus terjebak dalam sistem yang tidak berpihak kepada mereka? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tidaklah sederhana, tetapi yang pasti, perubahan hanya bisa terjadi jika ada kesadaran dan aksi kolektif dari seluruh elemen masyarakat. Film ini menjadi pengingat bahwa di tengah ketidakadilan yang terjadi, masih ada harapan untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.

Sinopsis Adolescence, Resah Keluarga di Tengah Dugaan Kriminal Remaja

Sinopsis Adolescence tentang kehidupan keluarga berubah 180 derajat ketika anak bungsu mereka jadi tersangka kasus pembunuhan.

Adolescence adalah serial televisi terbatas kriminal terbaru dari Inggris yang disutradarai Philip Barantini (Boiling Point) dari naskah yang ditulis Graham dan Jack Thorne (The Swimmers, Joy).
Serial ini mengisahkan kehidupan satu keluarga yang berubah 180 derajat ketika anak bungsu mereka mendadak menjadi tersangka kasus pembunuhan teman sekolahnya.

Berikut sinopsis Adolescence.
Semua bermula pada suatu pagi ketika DI Luke Bascombe (Ashley Walters) mendapatkan laporan untuk menangkap seseorang terduga pelaku pembunuhan. Ia datang bersama sekelompok polisi lainnya ke rumah terduga pembunuh itu.

Sekitar pukul 6.00 pagi, mereka mendobrak masuk rumah keluarga Miller. Bascombe dan tim besarnya ternyata hendak menangkap Jamie Edward Miller (Owen Cooper), remaja berusia 13 tahun yang diduga membunuh teman sekolahnya.

Jamie diduga membunuh seseorang usai menikamnya berulang kali dengan pisau dapur pada malam sebelumnya sekitar pukul 22.13 waktu setempat. 

Orang tua Jamie, Eddie (Stephen Graham) dan Manda (Christine Tremarco), berusaha meyakinkan polisi bahwa anak laki-laki mereka tidak bersalah.

Namun, Bascombe menyatakan mereka malah bisa digugat balik dengan tuduhan menghalangi proses hukum. Sehingga, orang tua Jamie pun membuka ruang dan membuat pihak berwenang membawa anak mereka ke kantor polisi.

Di kantor polisi, Jamie terus menerus menangis mengaku tidak bersalah saat diproses dan dibawa ke sel tahanan sementara keluarganya tiba di kantor polisi.

Eddie setuju menjadi pendamping bagi Jamie dan menemaninya saat ia digeledah, dicek kondisi kesehatannya, dan diinterogasi. Hal tersebut pun sesuai dengan keinginan anak bungsunya tersebut.

Berdasarkan pengecekan kondisi kesehatan awal, Jamie dinilai sehat secara fisik dan juga mental. Tim medis yang memeriksa menilai Jamie adalah bright kid. 

Setelah proses administrasi, Bascombe dan DS Misha Frank (Faye Marsay) mulai menginterogasi Jamie. Topik pembicaraan segera beralih ke hubungan seksual Jamie, di mana terungkap anak laki-laki itu membuat beberapa komentar eksplisit seksual tentang model perempuan.

Jamie kemudian diinterogasi lebih lanjut mengenai seorang remaja perempuan bernama Katie Leonard yang ditikam sampai mati.

Eddie langsung membela Jamie saat interogasi, namun Bascombe malah menunjukkan video yang membuat orang tua remaja tersebut tercengang.

Adolescence memiliki empat episode yang tiap episodenya berdurasi 51-65 menit. Adolescence tayang 13 Maret dan bisa ditonton di Netflix.

Ne Zha 2 Bersiap Tenggelamkan Titanic di Daftar Film Terlaris Dunia

Ne Zha 2 kini di posisi lima film terlaris dunia. Film animasi China itu butuh US$170 juta untuk lengserkan Titanic dari posisi empat.

Ne Zha 2 resmi masuk lima besar film terlaris sepanjang masa setelah perolehan box office film animasi itu bertambah menjadi US$2,085 miliar atau sekitar Rp34,1 triliun (US$1 = Rp16.359).
Diberitakan Deadline, Minggu (16/3), capaian itu membuat Ne Zha 2 berhasil menggeser Star Wars: The Force Awakens (2015) dan Avengers: Infinity War (2018) dari peringkat kelima dan keenam.

Perolehan ini dihasilkan setelah capaian box office Ne Zha 2 di China menyentuh US$2,054 miliar. Kemudian, pendapatan box office film tersebut di pasar internasional menyentuh US$31 juta.Angka itu hanya terpaut sekitar US$170 juta dari Titanic yang hingga kini menempati posisi empat besar film terlaris di dunia dengan US$2,257 miliar.

Namun, capaian Ne Zha 2 berpotensi terus bertambah karena film itu masih tayang di China. Film animasi itu juga baru akan tayang di Indonesia hingga Jepang dan beberapa negara Eropa lainnya.

Ne Zha 2 merupakan sekuel dari Ne Zha, yang meraup US$742 juta di seluruh dunia pada 2019. Film ini melanjutkan kisah film pertama yang awalnya menceritakan seorang anak laki-laki direkrut untuk melawan iblis karena terlahir dengan kekuatan unik.

Ia yang selama ini dicap sebagai monster oleh masyarakat di sekitarnya malah berujung menyelamatkan mereka yang takut padanya.

Kini, kisahnya menceritakan jiwa Nezha dan Aobing yang terselamatkan setelah bencana, tapi tubuh mereka akan hancur. Taiyi Zhenren berencana menggunakan teratai tujuh warna untuk membentuk kembali tubuh mereka.

Ne Zha 2 akhirnya dikonfirmasi bakal tayang di bioskop Indonesia mulai 21 Maret.

Sinopsis When Life Gives You Tangerines, Kisah Cinta Lintas Zaman

Cerita drama ini menyingkap kisah cinta dua remaja di Pulau Jeju pada 1950-an. Ae-soon (IU) adalah perempuan pemberontak sekaligus petualang yang begitu mencintai buku.

Ia juga tetap memperjuangkan mimpi menjadi penyair, meski keadaan ekonomi keluarga Ae-soon membuatnya tidak dapat mengenyam bangku sekolah.

Ae-soon juga dikenal sebagai perempuan muda yang pemberani. Ia begitu blak-blakan, tidak malu mengekspresikan perasaannya kepada siapa pun.

Kehidupan Ae-soon yang begitu cerah itu lalu berjumpa dengan Gwan-sik (Park Bo-gum), laki-laki pendiam yang teduh. Ia juga dikenal amat tulus dan rajin, serta memegang prinsip kuat dalam kehidupannya.

Namun, soal cinta, ia begitu rapuh dan mudah luluh. Semua itu terjadi sejak Gwan-sik kenal Ae-soon.

Jatuh cinta yang dialami Gwan-sik kepada Ae-soon membuat hatinya teguh. Ia bertekad kuat untuk mencintai Ae-soon, menemaninya melewati berbagai fase kehidupan.

Rasa cinta itu membawa Ae-soon dan Gwan-sik mengarungi hidup bersama dari masa ke masa. Mereka menghabiskan waktu menjalani cerita-cerita romantis semasa muda.

Kisah dua sejoli tersebut berjalan melintasi zaman. Mereka menghadapi berbagai rintangan, dan berusaha tetap bertahan saat menghadapi semuanya.

Naskah When Life Gives You Tangerine digarap oleh penulis hit Lim Sang-chun. Ia dikenal sebagai penulis drama populer, seperti When the Camellia Blooms (2019) dan Fight for My Way (2017).

Drama ini menjadi momen reuni IU dengan Kim Won-seok setelah My Mister (2019). Kim Won-seok turut dikenal sebagai sutradara Misaeng (2014) hingga Signal (2016).

When Life Gives You Tangerine juga diramaikan sederet aktor Korea hit. Moon So-ri dan Park Hae-joon akan memerankan karakter Ae-soon dan Gwan-sik versi tua.

Kemudian, drama ini dibintangi Choi Dae-hoon, Na Moon-he, Kim Yong-rim, Lee Jun-young, Oh Jung-se, Baek Ji-won, Yeom Hye-ran, dan Lee Soo-kyung.

When Life Gives You Tangerine tayang di Netflix mulai 7 Maret 2025.

Film I Am Ready, Warden: Nominator Oscar yang Menyayat Hati dan Keadilan

Ilustrasi film I Am Ready, Warden (Sumber: sortirparis.com)

Dalam lanskap sinema dokumenter, hanya sedikit film yang mampu mengguncang kesadaran moral sekaligus menggugah empati penonton sebagaimana I Am Ready Warden. Film dokumenter pendek ini berhasil menembus nominasi Piala Oscar 2025 dalam kategori Best Documentary Short Film. Mengangkat kisah tragis sekaligus reflektif tentang hari-hari terakhir John Henry Ramirez, seorang terpidana mati di Texas. Dengan pendekatan sinematografi yang intim dan emosional, film ini tidak sekadar menyajikan kisah hukum, tetapi juga menantang batas moralitas dan keadilan dalam sistem peradilan Amerika Serikat.

Dari perspektif sinematografi, I Am Ready, Warden memilih pendekatan yang bersifat observational cinema, di mana kamera seolah menjadi saksi bisu tanpa banyak intervensi terhadap subjeknya. Penggunaan teknik pengambilan gambar yang tenang dan minim gerakan menciptakan atmosfer yang meditatif, memungkinkan penonton untuk merasakan kesunyian yang menyelimuti kehidupan seorang pria yang menunggu kematiannya. Hal ini mengingatkan pada estetika sinema vrit yang membiarkan realitas berbicara tanpa banyak manipulasi.

Pencahayaan dalam film ini juga menjadi elemen penting dalam membangun nuansa emosional. Dalam adegan-adegan yang merekam momen perenungan Ramirez di dalam selnya, pencahayaan redup dan bayangan yang kontras memperkuat kesan keterasingan dan keputusasaan. Ini menjadi simbol visual yang mencerminkan keadaan mental dan spiritual tokohnya, menggugah perasaan penonton tanpa perlu narasi berlebihan.

Teknik komposisi gambar yang digunakan menunjukkan keberanian dalam membingkai keterbatasan ruang. Banyak adegan yang memperlihatkan Ramirez dalam bingkai sempit, baik melalui jeruji besi maupun pantulan di cermin kecil di selnya. Simbolisme ini menguatkan pesan bahwa kebebasannya telah dirampas, tetapi pikirannya masih merdeka untuk mempertanyakan keadilan yang menimpa dirinya. Dalam beberapa momen, kamera memilih sudut pandang subyektif yang menempatkan penonton dalam posisi Ramirez, menciptakan kedekatan emosional yang mendalam.

Selain visual, penggunaan suara dalam dokumenter ini juga memiliki peran krusial. Tidak ada musik latar yang berlebihan. Alih-alih, film ini lebih banyak mengandalkan suara-suara ambient yang mencerminkan ketegangan di dalam penjara, seperti langkah kaki sipir yang menggema di koridor, suara pintu besi yang berderit, dan napas berat Ramirez saat menanti putusan akhir. Keheningan dalam beberapa adegan menjadi begitu kuat sehingga terasa lebih menyayat dibandingkan dengan dialog panjang.

Struktur naratif I Am Ready, Warden dibangun dengan pendekatan non-linear yang mengajak penonton untuk merangkai sendiri puzzle moral dalam cerita ini. Dengan memanfaatkan kilas balik dan cuplikan percakapan Ramirez dengan keluarga korban, film ini memperlihatkan perjalanan batin seorang pria yang mencari penebusan dosa di penghujung hidupnya. Kontras antara masa lalu dan masa kini menjadi cermin atas transformasi seseorang, yang menantang pertanyaan mendasar, apakah manusia benar-benar bisa berubah?

Salah satu aspek yang membuat dokumenter ini begitu kuat adalah keberaniannya untuk menggali aspek kemanusiaan dalam dunia yang seringkali dipenuhi hitam dan putih hukum. Momen saat Ramirez berusaha menghubungi putra korban untuk meminta maaf menjadi inti emosional film ini. Alih-alih mengarahkan penonton untuk membenarkan atau menyalahkan, film ini justru memberikan ruang refleksi bagi setiap individu untuk merenungkan kompleksitas moral yang ada.

Dari segi sinematografi, pilihan untuk tetap fokus pada ekspresi wajah Ramirez saat ia berbicara melalui telepon dengan suara bergetar menjadi keputusan artistik yang jenius. Tidak ada efek dramatis berlebihan, tidak ada permainan warna yang mencolok, hanya sorotan wajah seorang pria yang dihadapkan pada keabadian dari konsekuensi perbuatannya. Kesederhanaan ini justru memperkuat dampak emosional yang dihadirkan. Lebih jauh, film ini juga memperlihatkan ironi dalam sistem peradilan Amerika. Dengan adegan yang memperlihatkan ruang eksekusi yang steril dan prosedur yang terorganisir, film ini secara halus mempertanyakan bagaimana sebuah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan masih menjalankan praktik hukuman mati. Visualisasi birokrasi yang dingin dan mekanis ini berfungsi sebagai kritik terhadap sistem yang sering kali gagal melihat manusia di balik kejahatannya.

Review Film Jurnalis Fotografi: The Bang Bang Club 2010

Ken Oosterbroek, Joao Silva, Kevin Carter, & Greg Marinovich. Sumber: At The Movie

The Bang Bang Club adalah film yang dirilis pada tahun 2010 dan disutradarai oleh Steven Silver. Film ini mengisahkan perjalanan empat jurnalis fotografi yang mempertaruhkan nyawa mereka demi mendokumentasikan kekerasan dan konflik yang terjadi di Afrika Selatan pada awal 1990-an. Keempat jurnalis ini adalah Kevin Carter, Greg Marinovich, Ken Oosterbroek, dan Joao Silva. Mereka dikenal sebagai kelompok fotografer yang berani mengambil risiko demi mendapatkan gambar-gambar yang mampu menggambarkan realitas pahit dari situasi politik dan sosial di negara tersebut.

Afrika Selatan pada awal tahun 1990-an sedang berada dalam masa transisi menuju demokrasi setelah bertahun-tahun hidup di bawah sistem apartheid. Ketegangan rasial dan politik semakin memanas, menyebabkan banyak bentrokan antara kelompok-kelompok yang berseteru. Dalam situasi ini, peran jurnalis foto menjadi sangat penting karena mereka bertugas untuk mengabadikan kenyataan yang terjadi di lapangan dan menyampaikannya kepada dunia.

Greg Marinovich pertama kali bertemu dengan Kevin Carter, Ken Oosterbroek, dan Joao Silva di salah satu peristiwa kerusuhan yang terjadi di sana. Awalnya, Greg dianggap sebagai fotografer pemula, tetapi ia menunjukkan keberanian dan ketajaman dalam menangkap momen-momen penting. Karena bakat dan keberaniannya, Greg akhirnya direkrut oleh media yang menaungi Kevin, Ken, dan Joao untuk bekerja sama dalam mencari foto-foto yang memiliki nilai jurnalistik tinggi. Sejak saat itu, Greg bergabung dengan The Bang Bang Club, sebuah kelompok fotografer yang berusaha mendokumentasikan realitas pahit dari konflik di Afrika Selatan.

Film ini berfokus pada perjalanan Greg Marinovich bersama rekan-rekannya dalam mendokumentasikan kekerasan yang terjadi di Afrika Selatan. Foto-foto yang mereka abadikan menjadi saksi bisu atas penderitaan masyarakat, ketidakadilan, dan dampak dari ketegangan politik yang terjadi di negara tersebut. Hasil jepretan mereka mengguncang dunia karena menyoroti sisi gelap dari perjuangan menuju demokrasi di Afrika Selatan.

Namun, keberhasilan mereka dalam dunia jurnalistik tidak datang tanpa risiko besar. Ancaman kematian selalu menghantui mereka di setiap misi yang mereka jalankan. Mereka sering kali berada di garis depan konflik, di antara kelompok-kelompok yang saling menyerang dengan senjata tajam dan senjata api. Tidak hanya itu, mereka juga harus menghadapi dampak psikologis dari apa yang mereka saksikan dan abadikan dalam foto-foto mereka.

Kevin Carter, misalnya, mengalami tekanan mental yang luar biasa akibat pengalaman yang ia alami selama menjadi fotografer perang. Salah satu foto yang paling dikenalnya adalah gambar seorang anak kecil yang kelaparan di Sudan, dengan seekor burung bangkai yang menunggu di belakangnya. Foto tersebut mengguncang dunia dan membuatnya meraih penghargaan Pulitzer. Namun, setelah foto itu tersebar, ia dihantui berbagai pertanyaan dari banyak orang, termasuk apakah ia membantu anak tersebut atau tidak. Beban moral yang ia rasakan semakin berat seiring berjalannya waktu.

Foto karya Kevin Carter yang memenangkan Pulitzer Prize for Feature Photography di tahun 1994 (Guardian)
Foto karya Kevin Carter yang memenangkan Pulitzer Prize for Feature Photography di tahun 1994 (Guardian)

Selain itu, para jurnalis foto ini sering kali berhadapan dengan situasi yang tidak hanya berbahaya tetapi juga penuh ketidakpastian. Mereka harus terus bergerak dari satu lokasi ke lokasi lain untuk mendapatkan gambar-gambar yang mampu menceritakan kisah konflik secara mendalam. Dalam proses ini, mereka juga berhadapan dengan kelompok-kelompok bersenjata yang tidak jarang menganggap keberadaan jurnalis sebagai ancaman. Banyak dari mereka yang mengalami cedera akibat berada terlalu dekat dengan pusat konflik, dan beberapa di antaranya bahkan kehilangan nyawa dalam proses ini.

Review Film: The Forgotten Battle (De Slag om de Schelde)

The Forgotten Battle | Tayang di Netflix 

The Forgotten Battle (judul asli: De Slag om de Schelde) adalah film perang Belanda yang dirilis pada tahun 2021. Disutradarai oleh Matthijs van Heijningen Jr., film ini mengambil latar belakang Perang Dunia II, khususnya pertempuran di Scheldt (1944) yang terjadi di wilayah Belanda dan Belgia. Pertempuran ini merupakan bagian penting dari upaya Sekutu untuk membebaskan pelabuhan Antwerpen dan memastikan pasokan logistik mereka. Film ini menggabungkan aksi perang yang intens dengan drama manusia yang mendalam, menciptakan pengalaman menonton yang memukau sekaligus mengharukan.

Informasi Dasar Film

Judul Film: The Forgotten Battle (De Slag om de Schelde)
Sutradara: Matthijs van Heijningen Jr.
Pemain Utama: Gijs Blom (Marinus), Jamie Flatters (William), Susan Radder (Teuntje)
Genre: Perang, Drama, Sejarah, Aksi
Tahun Rilis: 2021
Durasi: 2 jam 4 menit

Film ini mengisahkan tiga karakter utama yang terlibat dalam pertempuran di Scheldt:

  1. Marinus (Gijs Blom), seorang tentara Belanda yang awalnya bekerja sama dengan Nazi tetapi kemudian bergabung dengan pasukan Sekutu setelah menyadari kekejaman rezim tersebut.
  2. Teuntje (Susan Radder), seorang wanita muda Belanda yang terlibat dalam perlawanan bawah tanah melawan pendudukan Nazi. Dia harus menghadapi dilema moral ketika keluarganya terancam.
  3. William (Jamie Flatters), seorang pilot Inggris yang terjatuh di wilayah musuh dan berusaha bertahan hidup sambil membantu upaya Sekutu.

Kisah mereka saling terkait, menggambarkan perjuangan, pengorbanan, dan konflik moral selama perang. Film ini tidak hanya fokus pada aksi pertempuran, tetapi juga pada dampak perang terhadap kehidupan individu.