Dari Film The New Rulers of the Word, Globalisasi dan Perbudakan Modern: Ketimpangan Sosial di Balik Kemewahan Merek Global

Film dokumenter ini dengan tajam mengupas dampak globalisasi di Indonesia, menunjukkan bagaimana kesenjangan sosial dan ekonomi semakin melebar akibat praktik ekonomi yang eksploitatif. Globalisasi, yang awalnya dianggap sebagai jembatan menuju kemajuan, justru menjadi alat bagi korporasi besar untuk memperkaya diri dengan mengorbankan masyarakat kelas bawah. Film ini menggambarkan bagaimana perusahaan multinasional menguasai sumber daya negara, sementara rakyatnya tetap terperosok dalam kemiskinan. Dengan mengambil Indonesia sebagai studi kasus, film ini menghubungkan sejarah imperialisme dengan realitas ekonomi modern, menunjukkan bahwa meskipun zaman telah berubah, pola eksploitasi tetap berlangsung dengan wajah yang berbeda.

Indonesia telah lama menjadi target eksploitasi karena kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah. Sejak zaman kolonial, bangsa ini telah menjadi sasaran penjarahan oleh kekuatan asing. Kini, dalam era globalisasi, eksploitasi tersebut masih berlanjut dalam bentuk yang lebih terselubung dan sistematis. Perusahaan-perusahaan multinasional datang dengan janji investasi dan pembangunan, tetapi pada kenyataannya, mereka mengeruk keuntungan besar sambil meninggalkan masyarakat dalam kesulitan. Peningkatan kesejahteraan dan pembukaan lapangan kerja yang sering mereka janjikan, pada akhirnya, lebih banyak menguntungkan segelintir elite, baik di dalam maupun di luar negeri.

Salah satu sektor yang paling terdampak adalah industri manufaktur. Banyak pabrik di Indonesia yang memproduksi barang untuk merek-merek ternama dunia, tetapi kondisi kerja di dalamnya sangat memprihatinkan. Para pekerja sering kali diperlakukan layaknya budak modern. Mereka dihadapkan pada upah rendah, jam kerja panjang, dan tekanan tinggi, tanpa perlindungan tenaga kerja yang layak. Banyak dari mereka tidak memiliki pilihan selain menerima kondisi tersebut karena biaya hidup yang semakin tinggi. Upah yang mereka dapatkan bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Perusahaan multinasional juga kerap menggunakan sistem outsourcing untuk menghindari tanggung jawab mereka terhadap kesejahteraan pekerja, membuat buruh tidak memiliki akses terhadap tunjangan kesehatan, jaminan hari tua, atau hak-hak dasar lainnya.

Film dokumenter ini dengan tajam mengupas dampak globalisasi di Indonesia, menunjukkan bagaimana kesenjangan sosial dan ekonomi semakin melebar akibat praktik ekonomi yang eksploitatif. Globalisasi, yang awalnya dianggap sebagai jembatan menuju kemajuan, justru menjadi alat bagi korporasi besar untuk memperkaya diri dengan mengorbankan masyarakat kelas bawah. Film ini menggambarkan bagaimana perusahaan multinasional menguasai sumber daya negara, sementara rakyatnya tetap terperosok dalam kemiskinan. Dengan mengambil Indonesia sebagai studi kasus, film ini menghubungkan sejarah imperialisme dengan realitas ekonomi modern, menunjukkan bahwa meskipun zaman telah berubah, pola eksploitasi tetap berlangsung dengan wajah yang berbeda.

Indonesia telah lama menjadi target eksploitasi karena kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah. Sejak zaman kolonial, bangsa ini telah menjadi sasaran penjarahan oleh kekuatan asing. Kini, dalam era globalisasi, eksploitasi tersebut masih berlanjut dalam bentuk yang lebih terselubung dan sistematis. Perusahaan-perusahaan multinasional datang dengan janji investasi dan pembangunan, tetapi pada kenyataannya, mereka mengeruk keuntungan besar sambil meninggalkan masyarakat dalam kesulitan. Peningkatan kesejahteraan dan pembukaan lapangan kerja yang sering mereka janjikan, pada akhirnya, lebih banyak menguntungkan segelintir elite, baik di dalam maupun di luar negeri.

Salah satu sektor yang paling terdampak adalah industri manufaktur. Banyak pabrik di Indonesia yang memproduksi barang untuk merek-merek ternama dunia, tetapi kondisi kerja di dalamnya sangat memprihatinkan. Para pekerja sering kali diperlakukan layaknya budak modern. Mereka dihadapkan pada upah rendah, jam kerja panjang, dan tekanan tinggi, tanpa perlindungan tenaga kerja yang layak. Banyak dari mereka tidak memiliki pilihan selain menerima kondisi tersebut karena biaya hidup yang semakin tinggi. Upah yang mereka dapatkan bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Perusahaan multinasional juga kerap menggunakan sistem outsourcing untuk menghindari tanggung jawab mereka terhadap kesejahteraan pekerja, membuat buruh tidak memiliki akses terhadap tunjangan kesehatan, jaminan hari tua, atau hak-hak dasar lainnya.

Selain aksi protes, ada pula upaya masyarakat untuk membangun sistem ekonomi alternatif yang lebih adil. Beberapa komunitas mulai mengembangkan koperasi dan usaha berbasis komunitas sebagai cara untuk melawan dominasi perusahaan besar. Gerakan petani misalnya, mulai kembali ke sistem pertanian tradisional yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan, menolak penggunaan benih hasil rekayasa genetika yang dikendalikan oleh korporasi asing. Selain itu, pengrajin lokal mulai memasarkan produk mereka secara langsung ke konsumen tanpa melalui perantara perusahaan besar, sehingga mereka bisa mendapatkan keuntungan yang lebih layak. Ini menunjukkan bahwa ada cara lain untuk bertahan di tengah gempuran globalisasi tanpa harus tunduk pada eksploitasi kapitalisme global.

Pada akhirnya, film ini tidak hanya menjadi kritik terhadap globalisasi, tetapi juga sebuah ajakan untuk berpikir lebih kritis mengenai dampaknya terhadap masyarakat. Globalisasi seharusnya tidak hanya menguntungkan segelintir orang, tetapi juga membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Tantangan terbesar yang dihadapi saat ini adalah bagaimana menciptakan sistem ekonomi yang lebih berkeadilan, di mana sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, bukan hanya untuk memperkaya segelintir elite. Masyarakat perlu mengambil langkah aktif untuk melawan ketidakadilan ini, baik melalui gerakan sosial, kebijakan ekonomi alternatif, maupun dengan mendukung produk dan usaha lokal.

Dengan menyajikan berbagai realitas pahit yang terjadi di Indonesia, film ini mengajak penonton untuk merenungkan kembali makna globalisasi dan implikasinya bagi kehidupan sehari-hari. Apakah globalisasi benar-benar membawa kemajuan, atau justru semakin memperparah ketimpangan sosial? Apakah masyarakat bisa merebut kembali kendali atas ekonomi mereka, atau akan terus terjebak dalam sistem yang tidak berpihak kepada mereka? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tidaklah sederhana, tetapi yang pasti, perubahan hanya bisa terjadi jika ada kesadaran dan aksi kolektif dari seluruh elemen masyarakat. Film ini menjadi pengingat bahwa di tengah ketidakadilan yang terjadi, masih ada harapan untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.

Sinopsis Adolescence, Resah Keluarga di Tengah Dugaan Kriminal Remaja

Sinopsis Adolescence tentang kehidupan keluarga berubah 180 derajat ketika anak bungsu mereka jadi tersangka kasus pembunuhan.

Adolescence adalah serial televisi terbatas kriminal terbaru dari Inggris yang disutradarai Philip Barantini (Boiling Point) dari naskah yang ditulis Graham dan Jack Thorne (The Swimmers, Joy).
Serial ini mengisahkan kehidupan satu keluarga yang berubah 180 derajat ketika anak bungsu mereka mendadak menjadi tersangka kasus pembunuhan teman sekolahnya.

Berikut sinopsis Adolescence.
Semua bermula pada suatu pagi ketika DI Luke Bascombe (Ashley Walters) mendapatkan laporan untuk menangkap seseorang terduga pelaku pembunuhan. Ia datang bersama sekelompok polisi lainnya ke rumah terduga pembunuh itu.

Sekitar pukul 6.00 pagi, mereka mendobrak masuk rumah keluarga Miller. Bascombe dan tim besarnya ternyata hendak menangkap Jamie Edward Miller (Owen Cooper), remaja berusia 13 tahun yang diduga membunuh teman sekolahnya.

Jamie diduga membunuh seseorang usai menikamnya berulang kali dengan pisau dapur pada malam sebelumnya sekitar pukul 22.13 waktu setempat. 

Orang tua Jamie, Eddie (Stephen Graham) dan Manda (Christine Tremarco), berusaha meyakinkan polisi bahwa anak laki-laki mereka tidak bersalah.

Namun, Bascombe menyatakan mereka malah bisa digugat balik dengan tuduhan menghalangi proses hukum. Sehingga, orang tua Jamie pun membuka ruang dan membuat pihak berwenang membawa anak mereka ke kantor polisi.

Di kantor polisi, Jamie terus menerus menangis mengaku tidak bersalah saat diproses dan dibawa ke sel tahanan sementara keluarganya tiba di kantor polisi.

Eddie setuju menjadi pendamping bagi Jamie dan menemaninya saat ia digeledah, dicek kondisi kesehatannya, dan diinterogasi. Hal tersebut pun sesuai dengan keinginan anak bungsunya tersebut.

Berdasarkan pengecekan kondisi kesehatan awal, Jamie dinilai sehat secara fisik dan juga mental. Tim medis yang memeriksa menilai Jamie adalah bright kid. 

Setelah proses administrasi, Bascombe dan DS Misha Frank (Faye Marsay) mulai menginterogasi Jamie. Topik pembicaraan segera beralih ke hubungan seksual Jamie, di mana terungkap anak laki-laki itu membuat beberapa komentar eksplisit seksual tentang model perempuan.

Jamie kemudian diinterogasi lebih lanjut mengenai seorang remaja perempuan bernama Katie Leonard yang ditikam sampai mati.

Eddie langsung membela Jamie saat interogasi, namun Bascombe malah menunjukkan video yang membuat orang tua remaja tersebut tercengang.

Adolescence memiliki empat episode yang tiap episodenya berdurasi 51-65 menit. Adolescence tayang 13 Maret dan bisa ditonton di Netflix.

Ne Zha 2 Bersiap Tenggelamkan Titanic di Daftar Film Terlaris Dunia

Ne Zha 2 kini di posisi lima film terlaris dunia. Film animasi China itu butuh US$170 juta untuk lengserkan Titanic dari posisi empat.

Ne Zha 2 resmi masuk lima besar film terlaris sepanjang masa setelah perolehan box office film animasi itu bertambah menjadi US$2,085 miliar atau sekitar Rp34,1 triliun (US$1 = Rp16.359).
Diberitakan Deadline, Minggu (16/3), capaian itu membuat Ne Zha 2 berhasil menggeser Star Wars: The Force Awakens (2015) dan Avengers: Infinity War (2018) dari peringkat kelima dan keenam.

Perolehan ini dihasilkan setelah capaian box office Ne Zha 2 di China menyentuh US$2,054 miliar. Kemudian, pendapatan box office film tersebut di pasar internasional menyentuh US$31 juta.Angka itu hanya terpaut sekitar US$170 juta dari Titanic yang hingga kini menempati posisi empat besar film terlaris di dunia dengan US$2,257 miliar.

Namun, capaian Ne Zha 2 berpotensi terus bertambah karena film itu masih tayang di China. Film animasi itu juga baru akan tayang di Indonesia hingga Jepang dan beberapa negara Eropa lainnya.

Ne Zha 2 merupakan sekuel dari Ne Zha, yang meraup US$742 juta di seluruh dunia pada 2019. Film ini melanjutkan kisah film pertama yang awalnya menceritakan seorang anak laki-laki direkrut untuk melawan iblis karena terlahir dengan kekuatan unik.

Ia yang selama ini dicap sebagai monster oleh masyarakat di sekitarnya malah berujung menyelamatkan mereka yang takut padanya.

Kini, kisahnya menceritakan jiwa Nezha dan Aobing yang terselamatkan setelah bencana, tapi tubuh mereka akan hancur. Taiyi Zhenren berencana menggunakan teratai tujuh warna untuk membentuk kembali tubuh mereka.

Ne Zha 2 akhirnya dikonfirmasi bakal tayang di bioskop Indonesia mulai 21 Maret.

Sinopsis When Life Gives You Tangerines, Kisah Cinta Lintas Zaman

Cerita drama ini menyingkap kisah cinta dua remaja di Pulau Jeju pada 1950-an. Ae-soon (IU) adalah perempuan pemberontak sekaligus petualang yang begitu mencintai buku.

Ia juga tetap memperjuangkan mimpi menjadi penyair, meski keadaan ekonomi keluarga Ae-soon membuatnya tidak dapat mengenyam bangku sekolah.

Ae-soon juga dikenal sebagai perempuan muda yang pemberani. Ia begitu blak-blakan, tidak malu mengekspresikan perasaannya kepada siapa pun.

Kehidupan Ae-soon yang begitu cerah itu lalu berjumpa dengan Gwan-sik (Park Bo-gum), laki-laki pendiam yang teduh. Ia juga dikenal amat tulus dan rajin, serta memegang prinsip kuat dalam kehidupannya.

Namun, soal cinta, ia begitu rapuh dan mudah luluh. Semua itu terjadi sejak Gwan-sik kenal Ae-soon.

Jatuh cinta yang dialami Gwan-sik kepada Ae-soon membuat hatinya teguh. Ia bertekad kuat untuk mencintai Ae-soon, menemaninya melewati berbagai fase kehidupan.

Rasa cinta itu membawa Ae-soon dan Gwan-sik mengarungi hidup bersama dari masa ke masa. Mereka menghabiskan waktu menjalani cerita-cerita romantis semasa muda.

Kisah dua sejoli tersebut berjalan melintasi zaman. Mereka menghadapi berbagai rintangan, dan berusaha tetap bertahan saat menghadapi semuanya.

Naskah When Life Gives You Tangerine digarap oleh penulis hit Lim Sang-chun. Ia dikenal sebagai penulis drama populer, seperti When the Camellia Blooms (2019) dan Fight for My Way (2017).

Drama ini menjadi momen reuni IU dengan Kim Won-seok setelah My Mister (2019). Kim Won-seok turut dikenal sebagai sutradara Misaeng (2014) hingga Signal (2016).

When Life Gives You Tangerine juga diramaikan sederet aktor Korea hit. Moon So-ri dan Park Hae-joon akan memerankan karakter Ae-soon dan Gwan-sik versi tua.

Kemudian, drama ini dibintangi Choi Dae-hoon, Na Moon-he, Kim Yong-rim, Lee Jun-young, Oh Jung-se, Baek Ji-won, Yeom Hye-ran, dan Lee Soo-kyung.

When Life Gives You Tangerine tayang di Netflix mulai 7 Maret 2025.

Film I Am Ready, Warden: Nominator Oscar yang Menyayat Hati dan Keadilan

Ilustrasi film I Am Ready, Warden (Sumber: sortirparis.com)

Dalam lanskap sinema dokumenter, hanya sedikit film yang mampu mengguncang kesadaran moral sekaligus menggugah empati penonton sebagaimana I Am Ready Warden. Film dokumenter pendek ini berhasil menembus nominasi Piala Oscar 2025 dalam kategori Best Documentary Short Film. Mengangkat kisah tragis sekaligus reflektif tentang hari-hari terakhir John Henry Ramirez, seorang terpidana mati di Texas. Dengan pendekatan sinematografi yang intim dan emosional, film ini tidak sekadar menyajikan kisah hukum, tetapi juga menantang batas moralitas dan keadilan dalam sistem peradilan Amerika Serikat.

Dari perspektif sinematografi, I Am Ready, Warden memilih pendekatan yang bersifat observational cinema, di mana kamera seolah menjadi saksi bisu tanpa banyak intervensi terhadap subjeknya. Penggunaan teknik pengambilan gambar yang tenang dan minim gerakan menciptakan atmosfer yang meditatif, memungkinkan penonton untuk merasakan kesunyian yang menyelimuti kehidupan seorang pria yang menunggu kematiannya. Hal ini mengingatkan pada estetika sinema vrit yang membiarkan realitas berbicara tanpa banyak manipulasi.

Pencahayaan dalam film ini juga menjadi elemen penting dalam membangun nuansa emosional. Dalam adegan-adegan yang merekam momen perenungan Ramirez di dalam selnya, pencahayaan redup dan bayangan yang kontras memperkuat kesan keterasingan dan keputusasaan. Ini menjadi simbol visual yang mencerminkan keadaan mental dan spiritual tokohnya, menggugah perasaan penonton tanpa perlu narasi berlebihan.

Teknik komposisi gambar yang digunakan menunjukkan keberanian dalam membingkai keterbatasan ruang. Banyak adegan yang memperlihatkan Ramirez dalam bingkai sempit, baik melalui jeruji besi maupun pantulan di cermin kecil di selnya. Simbolisme ini menguatkan pesan bahwa kebebasannya telah dirampas, tetapi pikirannya masih merdeka untuk mempertanyakan keadilan yang menimpa dirinya. Dalam beberapa momen, kamera memilih sudut pandang subyektif yang menempatkan penonton dalam posisi Ramirez, menciptakan kedekatan emosional yang mendalam.

Selain visual, penggunaan suara dalam dokumenter ini juga memiliki peran krusial. Tidak ada musik latar yang berlebihan. Alih-alih, film ini lebih banyak mengandalkan suara-suara ambient yang mencerminkan ketegangan di dalam penjara, seperti langkah kaki sipir yang menggema di koridor, suara pintu besi yang berderit, dan napas berat Ramirez saat menanti putusan akhir. Keheningan dalam beberapa adegan menjadi begitu kuat sehingga terasa lebih menyayat dibandingkan dengan dialog panjang.

Struktur naratif I Am Ready, Warden dibangun dengan pendekatan non-linear yang mengajak penonton untuk merangkai sendiri puzzle moral dalam cerita ini. Dengan memanfaatkan kilas balik dan cuplikan percakapan Ramirez dengan keluarga korban, film ini memperlihatkan perjalanan batin seorang pria yang mencari penebusan dosa di penghujung hidupnya. Kontras antara masa lalu dan masa kini menjadi cermin atas transformasi seseorang, yang menantang pertanyaan mendasar, apakah manusia benar-benar bisa berubah?

Salah satu aspek yang membuat dokumenter ini begitu kuat adalah keberaniannya untuk menggali aspek kemanusiaan dalam dunia yang seringkali dipenuhi hitam dan putih hukum. Momen saat Ramirez berusaha menghubungi putra korban untuk meminta maaf menjadi inti emosional film ini. Alih-alih mengarahkan penonton untuk membenarkan atau menyalahkan, film ini justru memberikan ruang refleksi bagi setiap individu untuk merenungkan kompleksitas moral yang ada.

Dari segi sinematografi, pilihan untuk tetap fokus pada ekspresi wajah Ramirez saat ia berbicara melalui telepon dengan suara bergetar menjadi keputusan artistik yang jenius. Tidak ada efek dramatis berlebihan, tidak ada permainan warna yang mencolok, hanya sorotan wajah seorang pria yang dihadapkan pada keabadian dari konsekuensi perbuatannya. Kesederhanaan ini justru memperkuat dampak emosional yang dihadirkan. Lebih jauh, film ini juga memperlihatkan ironi dalam sistem peradilan Amerika. Dengan adegan yang memperlihatkan ruang eksekusi yang steril dan prosedur yang terorganisir, film ini secara halus mempertanyakan bagaimana sebuah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan masih menjalankan praktik hukuman mati. Visualisasi birokrasi yang dingin dan mekanis ini berfungsi sebagai kritik terhadap sistem yang sering kali gagal melihat manusia di balik kejahatannya.

Review Film Jurnalis Fotografi: The Bang Bang Club 2010

Ken Oosterbroek, Joao Silva, Kevin Carter, & Greg Marinovich. Sumber: At The Movie

The Bang Bang Club adalah film yang dirilis pada tahun 2010 dan disutradarai oleh Steven Silver. Film ini mengisahkan perjalanan empat jurnalis fotografi yang mempertaruhkan nyawa mereka demi mendokumentasikan kekerasan dan konflik yang terjadi di Afrika Selatan pada awal 1990-an. Keempat jurnalis ini adalah Kevin Carter, Greg Marinovich, Ken Oosterbroek, dan Joao Silva. Mereka dikenal sebagai kelompok fotografer yang berani mengambil risiko demi mendapatkan gambar-gambar yang mampu menggambarkan realitas pahit dari situasi politik dan sosial di negara tersebut.

Afrika Selatan pada awal tahun 1990-an sedang berada dalam masa transisi menuju demokrasi setelah bertahun-tahun hidup di bawah sistem apartheid. Ketegangan rasial dan politik semakin memanas, menyebabkan banyak bentrokan antara kelompok-kelompok yang berseteru. Dalam situasi ini, peran jurnalis foto menjadi sangat penting karena mereka bertugas untuk mengabadikan kenyataan yang terjadi di lapangan dan menyampaikannya kepada dunia.

Greg Marinovich pertama kali bertemu dengan Kevin Carter, Ken Oosterbroek, dan Joao Silva di salah satu peristiwa kerusuhan yang terjadi di sana. Awalnya, Greg dianggap sebagai fotografer pemula, tetapi ia menunjukkan keberanian dan ketajaman dalam menangkap momen-momen penting. Karena bakat dan keberaniannya, Greg akhirnya direkrut oleh media yang menaungi Kevin, Ken, dan Joao untuk bekerja sama dalam mencari foto-foto yang memiliki nilai jurnalistik tinggi. Sejak saat itu, Greg bergabung dengan The Bang Bang Club, sebuah kelompok fotografer yang berusaha mendokumentasikan realitas pahit dari konflik di Afrika Selatan.

Film ini berfokus pada perjalanan Greg Marinovich bersama rekan-rekannya dalam mendokumentasikan kekerasan yang terjadi di Afrika Selatan. Foto-foto yang mereka abadikan menjadi saksi bisu atas penderitaan masyarakat, ketidakadilan, dan dampak dari ketegangan politik yang terjadi di negara tersebut. Hasil jepretan mereka mengguncang dunia karena menyoroti sisi gelap dari perjuangan menuju demokrasi di Afrika Selatan.

Namun, keberhasilan mereka dalam dunia jurnalistik tidak datang tanpa risiko besar. Ancaman kematian selalu menghantui mereka di setiap misi yang mereka jalankan. Mereka sering kali berada di garis depan konflik, di antara kelompok-kelompok yang saling menyerang dengan senjata tajam dan senjata api. Tidak hanya itu, mereka juga harus menghadapi dampak psikologis dari apa yang mereka saksikan dan abadikan dalam foto-foto mereka.

Kevin Carter, misalnya, mengalami tekanan mental yang luar biasa akibat pengalaman yang ia alami selama menjadi fotografer perang. Salah satu foto yang paling dikenalnya adalah gambar seorang anak kecil yang kelaparan di Sudan, dengan seekor burung bangkai yang menunggu di belakangnya. Foto tersebut mengguncang dunia dan membuatnya meraih penghargaan Pulitzer. Namun, setelah foto itu tersebar, ia dihantui berbagai pertanyaan dari banyak orang, termasuk apakah ia membantu anak tersebut atau tidak. Beban moral yang ia rasakan semakin berat seiring berjalannya waktu.

Foto karya Kevin Carter yang memenangkan Pulitzer Prize for Feature Photography di tahun 1994 (Guardian)
Foto karya Kevin Carter yang memenangkan Pulitzer Prize for Feature Photography di tahun 1994 (Guardian)

Selain itu, para jurnalis foto ini sering kali berhadapan dengan situasi yang tidak hanya berbahaya tetapi juga penuh ketidakpastian. Mereka harus terus bergerak dari satu lokasi ke lokasi lain untuk mendapatkan gambar-gambar yang mampu menceritakan kisah konflik secara mendalam. Dalam proses ini, mereka juga berhadapan dengan kelompok-kelompok bersenjata yang tidak jarang menganggap keberadaan jurnalis sebagai ancaman. Banyak dari mereka yang mengalami cedera akibat berada terlalu dekat dengan pusat konflik, dan beberapa di antaranya bahkan kehilangan nyawa dalam proses ini.

Review Film: The Forgotten Battle (De Slag om de Schelde)

The Forgotten Battle | Tayang di Netflix 

The Forgotten Battle (judul asli: De Slag om de Schelde) adalah film perang Belanda yang dirilis pada tahun 2021. Disutradarai oleh Matthijs van Heijningen Jr., film ini mengambil latar belakang Perang Dunia II, khususnya pertempuran di Scheldt (1944) yang terjadi di wilayah Belanda dan Belgia. Pertempuran ini merupakan bagian penting dari upaya Sekutu untuk membebaskan pelabuhan Antwerpen dan memastikan pasokan logistik mereka. Film ini menggabungkan aksi perang yang intens dengan drama manusia yang mendalam, menciptakan pengalaman menonton yang memukau sekaligus mengharukan.

Informasi Dasar Film

Judul Film: The Forgotten Battle (De Slag om de Schelde)
Sutradara: Matthijs van Heijningen Jr.
Pemain Utama: Gijs Blom (Marinus), Jamie Flatters (William), Susan Radder (Teuntje)
Genre: Perang, Drama, Sejarah, Aksi
Tahun Rilis: 2021
Durasi: 2 jam 4 menit

Film ini mengisahkan tiga karakter utama yang terlibat dalam pertempuran di Scheldt:

  1. Marinus (Gijs Blom), seorang tentara Belanda yang awalnya bekerja sama dengan Nazi tetapi kemudian bergabung dengan pasukan Sekutu setelah menyadari kekejaman rezim tersebut.
  2. Teuntje (Susan Radder), seorang wanita muda Belanda yang terlibat dalam perlawanan bawah tanah melawan pendudukan Nazi. Dia harus menghadapi dilema moral ketika keluarganya terancam.
  3. William (Jamie Flatters), seorang pilot Inggris yang terjatuh di wilayah musuh dan berusaha bertahan hidup sambil membantu upaya Sekutu.

Kisah mereka saling terkait, menggambarkan perjuangan, pengorbanan, dan konflik moral selama perang. Film ini tidak hanya fokus pada aksi pertempuran, tetapi juga pada dampak perang terhadap kehidupan individu.

Resensi Film “Pesta Oligarki” Karya Watchdoc Documentary

Film ini merupakan karya Watchdoc Documentary yang membahas tentang peran “oligark” politik dan ekonomi dalam sistem demokrasi di Indonesia. Sejak diunggah pada Oktober 2024 hingga Februari 2025, film ini telah mendapat perhatian penonton dengan jumlah tayangan mencapai 1.129.455 kali. Film ini terbagi dalam 7 bagian dengan jumlah durasi 53:54 menit.

Menurut saya, film ini penting untuk ditonton bagi siapa saja khususnya bagi generasi muda sebagai agent of change untuk memberikan pandangan bagaimana kekuasaan dan uang berperan dalam politik Indonesia, sehingga secara tidak langsung dapat membuka pikiran penonton terhadap realitas politik di Indonesia. Selain itu, penyampaiannya yang sederhana dan mudah dipahami membuat film ini semakin menarik dan mudah dipahami diberbagai kalangan.  Namun disisi lain, film ini tidak menawarkan solusi untuk mengatasi dominasi oligarki dalam politik. Secara keseluruhan, film ini layak ditonton dan dapat menjadi media pembelajaran yang menarik. Jika pengajar ingin menggunakan film ini sebagai media pembelajaran, pengajar juga perlu memberikan pendampingan dan diskusi agar siswa tidak hanya menerima informasi secara mentah, tetapi juga mampu meningkatkan cara berpikir yang objektif dan analitis.

Lenny Marlina Bintang Film yang Jauh dari Gosip

Tangkap layar: Pinterest. 

Salah satu bintang film perempuan yang kukagumi dan sangat terkenal pada tahun 70an hingga 80an adalah Lenny Marlina.
Banyak film yang dibintangi oleh Lenny Marlina tapi hanya satu yang pernah kutonton: Di Mana Kau Ibu.
Film Di Mana Kau Ibu kutonton pada tahun 74 di bioskop Surya Baru di Malang. Sebuah bioskop terbuka tanpa atap yang dikenal dengan sebutan gerimis bubar alias misbar.
Harga karcisnya cukup mahal saat itu: Rp 50,- Lima puluh rupiah. Uang saku satu minggu.
Saya nonton film ini bukan karena tertarik pada Lenny Marlina yang manis dan berwajah nJawani. Tetapi lebih tertarik pingin nonton Rano Karno yang jadi bintang utama menurut saya.

Saya mulai tertarik dengan bintang film Lenny Marlina, gadis berdarah Sunda pada tahun 77an dari majalah-majalah seperti Vista, Selecta, STOP, dan Aktuil.
Dari majalah tersebut bisa diketahui bahwa Lenny Marlina merupakan salah satu bintang film yang jauh dari gosip. Selain itu juga tak pernah banyak tingkah untuk memancing perhatian penggemar.
Pada dasawarsa 70-80an banyak bintang film dan penyanyi ternama yang jauh dari kehidupan sensasional. Inilah yang membuat para penggemarnya, di antaranya saya, begitu senang pada Lenny Marlina.

Memang ada satu dua bintang film dan penyanyi yang gaya hidupnya sering membuat berita sensasional. Barangkali terpengaruh bintang film barat. Misalnya Elizabeth Taylor atau Marlyn Monroe.
Lenny Marlina kini telah memasuki usia senja. Namun demikian raut wajahnya masih menunjukkan kesegarannya. Tatapan matanya masih seperti perempuan sederhana yang jauh dari kehidupan dunia bintang film yang mencari ketenaran.
Seperti Venus yang bersinar terang di kegelapan tengah malam hingga dini hari. Itulah Lenny Marlina.

Tangkap layar: Pinterest. 
https://lukkygoal.com/

Sinopsis film ‘The Day Of The Jackal’ episode 01

Foto documenter (sumber gambar: Cloudwards.net)

THE DAY OF THE JACKAL adalah serial film dari inggris yang diproduksi oleh Carnival Film yang dibintangi oleh Eddie Redmayne, Lashana Lynch, dan juga Ursula Corbero. Film ini disutradarai oleh Ronnan Bennet dan merupakan adaptasi langsung dari novel karangan Fenderick Forsyth.

The Jackal atau Eddie Redmayne adalah seorang pembunuh bayaran yang ahli dalam mengunakan berbagai senjata laras panjang, ia juga dapat menyusup ke berbagai negara mengunakan identitas dan nama-nama palsu yang dikenal sebagai profesi yang luar biasa dengan bayaran mahal tersebut.

berawal saat berada di kota Munich, jackal berpura-pura menjadi seorang petugas kebersihan di salah satu gedung perusahaan Fest milik anak perdana menteri jerman. Dimana disitu tempat Elias Fest bekerja dan orang inilah yang akan menjadi target.

sebelum masuk jackal sempat dia diberhentikan oleh petugas keamanan di kantor tersebut akan tetapi dia dapat kemudian masuk setelah dapat menirukan suara sebagai ID dari Ralf si petugas kebersihan yang ia tirukan itu.

meski penyamarannya ini akhirnya dipergoki oleh seseorang, jackal langsung menghabisi orang itu bahkan semua orang yang berada diruangan lantai 13 tersebut. Jackal langsung mengejar Elias yang mengejutkannya lewat beberapa kali tembakan pistol hanya saja Elias berhasil kabur dan berlari menuju ke anak tangga darurat.

Akan tetapi Elias anak dari perdana menteri jerman tersebut dibiarkan begitu saja untuk dijadikan Jackal sebagai umpan agar Manfret Fest atau ayah dari Elias itu muncul. Alhasil beberapa waktu kemudian polisi dan para demonstran berkerumun di didepan gedung sebuah rumah sakit.

Jackal yang sudah menyiapkan scenario pembunuhan terhadap Manfret Fest ini, untuk itu sebisa mungkin ia kemudian memasang senapan laras panjangnya sembari menanti kedatangan Manfret. dan dihari berikutnya dia datang bersama dengan assistenya setelah mengetahui bahwa anaknya Elias telah menjadi korban.

Manfret yang sudah tiba dia lalu keluar dari mobil dengan pengawalan yang cukup ketat tatapi sayangnya dia harus terkena tembakan saat Manfret Fest baru saja memasuki rumah sakit hingga ia jatuh terkapar. Jackal lalu melarikan diri dari ruangan tempat ia membidik hebatnya pembunuhan terhadap perdana menteri jerman ini tergolong bersih, sangat begitu rapi dan terakomodir.

Lebih menariknya penembakan tersebut mengunakan senapan aneh yang dapat dilepas atau ditata ulang menjadi sebuah koper agar tidak terdeteksi saat berada di bandara ataupun ditempat umum lain. Jackal pun akhirnya dapat lolos keluar dari jerman dengan pemeriksaan cukup ketat dari pihak kepolisian, hingga dia tiba di Paris beberapa hari kemudian.

Bianca Pullman (Lashana Lynch) adalah seorang perwira intelijen dan merupakan seorang ahli senjata api mencoba menguak fakta terkait penembakan tersebut dengan reka adegan dan olah TKP. Bianca berkerja sama dengan badan Intelijen negara jerman resmi membuka kasus ini keranah publik, akan tetapi masih diusut tuntas oleh badan agensi MI6 yang bermarkas di London.

Segera setelah itu Jackal menjadi buronan dari intelijen MI6. Tetapi faktanya Bianca tidak menyangka jika dari hasil investigasi pembunuhaan Fest ini, berbuntut panjang terlebih jarak penembakan yang begitu jauh membuat rekor baru dan sekaligus membuat mereka heran oleh karena masih mustahil untuk dilakukan oleh seorang penembak jitu.