Lagu Komang Karya Raim Laode Kembali Viral Setelah Diangkat Jadi Film

(( Foto: Poster Film Bioskop

Beberapa tahun yang lalu, saya pertama kali mendengarkan lagu “Komang” secara tidak sengaja lewat sebuah video singkat di media sosial. Seketika saya terpaku. Lagu itu sederhana, jujur, namun begitu menyentuh. Melodi yang lembut dan lirik yang dalam membuatnya terasa sangat personal, seolah Raim Laode sedang berbicara langsung kepada orang yang paling ia cintai. Tak heran jika lagu ini kemudian menjadi viral dan sangat dicintai banyak orang.

Namun, siapa sangka, setelah sempat meredup dari perbincangan publik, “Komang” kembali mencuri perhatian. Bukan karena Raim Laode merilis versi baru atau tampil di ajang musik besar, melainkan karena lagu ini diangkat menjadi film layar lebar. Ya, sebuah lagu yang berdurasi hanya beberapa menit, kini menjelma menjadi sebuah karya sinematik berdurasi penuh, yang tayang di bioskop seluruh Indonesia.

Bagi saya pribadi, “Komang” bukan hanya lagu tentang cinta, tapi juga tentang ketulusan dan penerimaan. Raim menulis lagu ini untuk istrinya, Komang Ade Widiandari, dan di setiap bait liriknya, kita bisa merasakan kekaguman yang mendalam, rasa syukur, dan cinta yang nyaris tak bisa diungkapkan dengan kata-kata biasa. Lirik seperti “Dialah cahaya di mataku, dialah denyut di jantungku” bukan sekadar puitis, tapi terasa tulus dan nyata.

Lagu ini seolah merayakan kehadiran seseorang yang mengubah seluruh hidup seseorang lainnya. Tidak dramatis, tidak berlebihan, justru itulah kekuatannya. Dan rupanya, kekuatan itulah yang mendorong lahirnya sebuah film dengan judul yang sama.

Film “Komang” bukan sekadar adaptasi bebas dari lagu tersebut, tapi merupakan visualisasi langsung dari kisah cinta yang melatarbelakangi terciptanya lagu itu. Saya cukup terkejut ketika tahu bahwa film ini benar-benar menceritakan perjalanan Raim dan Komang dari awal pertemuan mereka di Baubau, Sulawesi Tenggara, hingga akhirnya bersatu sebagai suami istri. Kisah nyata yang difilmkan ini tidak dibuat-buat atau dibumbui secara berlebihan, tapi disampaikan dengan pendekatan yang sangat manusiawi dan menyentuh.

Dalam film ini, kita diajak menyelami perjuangan dua insan yang berasal dari latar belakang berbeda—Raim dari Buton, yang tumbuh dalam budaya Bugis, sementara Komang berasal dari keluarga Bali yang sangat menjunjung tinggi adat dan tradisi. Perbedaan ini bukan hanya budaya, tapi juga agama. Dan seperti banyak kisah nyata di negeri ini, perbedaan itu menjadi tantangan utama yang harus mereka lewati bersama.

Film ini tidak menawarkan kisah cinta ala dongeng yang mulus dan penuh romansa indah. Justru yang saya temukan adalah realitas hubungan: adanya keraguan, perdebatan, ketakutan akan penolakan orang tua, serta ketidakpastian masa depan. Namun, di tengah semua itu, ada cinta yang terus bertahan dan tidak menyerah.

Yang menarik bagi saya adalah bagaimana film ini tidak menjadikan perbedaan agama sebagai konflik yang disudutkan atau diperdebatkan secara frontal. Sebaliknya, perbedaan itu dipandang sebagai bagian dari kehidupan yang harus dihadapi dengan kepala dingin, hati terbuka, dan tekad yang kuat.

Sebagai penonton, saya merasakan bagaimana lirik lagu “Komang” diterjemahkan dengan sangat indah ke dalam gambar-gambar yang kuat dan penuh emosi. Setiap adegan seolah menjadi perpanjangan dari lirik lagu tersebut—ada momen di mana keheningan lebih menyampaikan makna ketimbang dialog panjang. Pemandangan laut di Baubau, senyum malu Komang, tatapan dalam Raim—semuanya terasa seperti puisi yang bergerak.

Film ini juga tidak berusaha menjadi terlalu besar atau terlalu sinematik. Justru kesederhanaannya adalah kekuatannya. Seperti lagu “Komang” itu sendiri, film ini mengandalkan rasa, bukan efek besar-besaran. Dan itulah yang membuatnya begitu mengena.

Leave a Reply

Your email address will not be published.